visi

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (QS An Nahl [16]:97).



Thursday, October 28, 2010

Jika Bukan Ahlinya Yang Mengurus, Tunggulah Kehancuran..!


Selasa, 26/10/2010 22:48 WIB

إِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ

قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ

قَالَ إِذَا أُسْنِدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ

فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi." Ada seorang sahabat bertanya; 'bagaimana maksud amanat disia-siakan? ' Nabi menjawab; "Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu." (BUKHARI - 6015)

Sungguh benarlah ucapan Rasulullah sholallahu’alaihi wa sallam di atas. "Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi." Amanah yang paling pertama dan utama bagi manusia ialah amanah ketaatan kepada Allah, Pencipta, Pemilik, Pemelihara dan Penguasa alam semesta dengan segenap isinya. Manusia hadir ke muka bumi ini telah diserahkan amanah untuk berperan sebagai khalifah yang diwajibkan membangun dan memelihara kehidupan di dunia berdasarkan aturan dan hukum Yang Memberi Amanah, yaitu Allah subhaanahu wa ta’aala.

إِنَّا عَرَضْنَا الأمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ

وَالأرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا

وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الإنْسَانُ

إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولا

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.”(QS Al-Ahzab 72)

Amanat ketaatan ini sedemikian beratnya sehingga makhluk-makhluk besar seperti langit, bumi dan gunung saja enggan memikulnya karena khawatir akan mengkhianatinya. Kemudian ketika ditawarkan kepada manusia, amanat itu diterima. Sehingga dengan pedas Allah ta’aala berfirman: “Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” Sungguh benarlah Allah ta’aala...! Manusia pada umumnya amat zalim dan amat bodoh. Sebab tidak sedikit manusia yang dengan terang-terangan mengkhianati amanat ketaatan tersebut. Tidak sedikit manusia yang mengaku beriman tetapi tatkala memiliki wewenang kepemimpinan mengabaikan aturan dan hukum Allah ta’aala. Mereka lebih yakin akan hukum buatan manusia –yang amat zalim dan amat bodoh itu- daripada hukum Allah ta’aala. Oleh karenanya Allah hanya menawarkan dua pilihan dalam masalah hukum. Taat kepada hukum Allah atau hukum jahiliah? Tidak ada pilihan ketiga. Misalnya kombinasi antara hukum Allah dengan hukum jahiliah.

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ

وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ

حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

“Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al-Maidah 50)

Dewasa ini kita sungguh prihatin menyaksikan bagaimana musibah beruntun terjadi di negeri kita yang berpenduduk muslim terbanyak di dunia. Belum selesai mengurus dua kecelakaan kereta api sekaligus, tiba-tiba muncul banjir bandang di Wasior, Irian. Kemudian gempa berkekuatan 7,2 skala richter di kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Lalu tiba-tiba kita dikejutkan dengan erupsi gunung Merapi di Jawa Tengah. Belum lagi ibukota Jakarta dilanda banjir massif yang mengakibatkan kemacetan dahsyat di setiap sudut kota, bahkan sampai ke Tangerang dan Bekasi. Siapa sangka banjir di Jakarta bisa terjadi di bulan Oktober, padahal jadwal rutinnya biasanya di bulan Januari atau Februari..?

Lalu bagaimana hubungan antara berbagai musibah dengan pengabaian hukum Allah? Simaklah firman Allah ta’aala berikut:

فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا

يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ

وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ

“Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” (QS Al-Maidah 49)

Berdasarkan ayat di atas, jelas bahwa Allah mengancam bakal terjadinya musibah bila suatu kaum berpaling dari hukum Allah. Dan tampaknya sudah terlalu banyak dosa yang dilakukan ummat yang mengaku beriman di negeri ini sehingga musibah yang terjadi harus berlangsung beruntun. Dan dari sekian banyak dosa ialah tentunya dosa berkhianat dari amanah ketaatan kepada Allah ta’aala. Tidak saja sembarang muslim di negeri ini yang mengabaikan aturan dan hukum Allah, tetapi bahkan mereka yang dikenal sebagai Ulama, Ustadz, aktifis da’wah dan para muballigh-pun turut membiarkan berlakunya hukum selain hukum Allah. Hanya sedikit dari kalangan ini yang memperingatkan ummat akan bahaya mengabaikan hukum Allah.

Dan yang lebih mengherankan lagi ialah kasus banjir Jakarta. Sudahlah warga Jakarta dipaksa bersabar dalam menuntut janji kosong pak Gubernur -sang “Ahli” yang mengaku sanggup mengatasi banjir tahunan tersebut- tiba-tiba kita semua dikejutkan dengan tersiarnya kabar bahwa Fauzi bowo justeru terpilih secara aklamasi sebagai Presiden Serikat Kota dan Pemerintah Daerah Asia Pasifik. Sebagaimana diberitakan di Media Online Pemprov DKI Jakarta http://www.beritajakarta.com:

Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo akhirnya terpilih sebagai Presiden Serikat Kota dan Pemerintah Daerah Asia Pasifik atauUnited Cities and Local Goverments Asia Pasific(UCLG ASPAC). Bang Fauzi, begitu biasa ia disapa, terpilih secara aklamasi dalam kongres ke III, UCLG ASPAC yang berlangsung di ACT City, Hamamatsu, Jepang, 18-22 Oktober kemarin. Dalam kongres tersebut, sebanyak 200 delegasi pemerintah daerah dari negara se-Asia Pasifik seperti, Jepang, China, Korea Selatan, India, Taiwan, Australia, Thailand dan negara lainnya memilih Fauzi Bowo sebagai Presiden UCLG ASPAC yang akan menjalankan tugasnya hingga tahun 2012 mendatang. “Gubernur Fauzi Bowo terpilih secara aklamasi,” ujar Hasan Basri, Asisten Perekonomian dan Administrasi Sekdaprov DKI Jakarta, Senin (25/10).

Sungguh benarlah ucapan Rasulullah sholallahu’alaihi wa sallam "Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu."









Sifat Malu dengan Hiasan Dunia dari Imam Ath-Thabari


Rabu, 20/10/2010 09:59 WIB

Nama beliau Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib. Orang-orang sekitar beliau kerap memanggil dengan sebutan Abu Ja’far dan generasi setelahnya menyebutnya dengan Imam Ath-Thabari.

Kata Ath-Thabari berkaitan dengan tempat kelahiran beliau yang bernama Thabaristan, saat ini masuk dalam wilayah negara Iran. Kehadiran Islam di daerah ini terjadi pada tahun 22 H melalui sebuah perjanjian damai pada masa kepemimpinan Umar bin Khaththab melalui panglimanya, Suwaid bin Muqarrin al-Muzani. Peristiwa ini terjadi tidak lama setelah pasukan Islam berhasil menaklukkan kota al-Ray yang kini bernama Teheran.

Ulama yang lahir pada tahun 225 H ini adalah anak dari seorang pencinta ilmu yang hidup sederhana. Ayah Ath-Thabari sangat menginginkan anaknya menjadi seorang ulama yang bisa menjadi rujukan dan panutan. Walau harus berkerja keras seadanya, Jarir bin Yazid bersikeras membiayai Ath-Thabari untuk berkeliling ke beberapa negeri untuk mencari ilmu.

Keinginan ini memang bukan tanpa alasan. Karena sejak kecil, Ath-Thabari telah menunjukkan bakat-bakat itu. Di usia tujuh tahun, Ath-Thabari telah hafal Alquran. Pada usia delapan tahun, ulama kecil ini sudah terbiasa mengimami masyarakat sekitar dalam shalat-shalat berjamaah. Dan di usia sembilan tahun, Ath-Thabari sudah mulai fokus mempelajari hadits. Di usia yang masih belia itu, Ath-Thabari sudah mempelajari sekitar 100 ribu hadits.

Pada usia 12 tahun, ayah Ath-Thabari akhirnya merelakan putera kesayangannya untuk berkeliling negeri mencari ilmu. Dengan bekal uang yang pas-pasan, sejumlah negeri berhasil dikunjungi Ath-Thabari demi mencari ilmu dari para ulama yang kredibel di bidangnya. Negeri-negeri itu antara lain, Bagdad, Bashrah, Kufah, Damaskus, Beirut, dan Mesir.

Di setiap negeri yang disinggahi, Ath-Thabari mempunyai guru-guru besar dan menjadi rujukan pada bidang masing-masing di masa itu. Di Bagdad, Ath-Thabari belajar fiqih mazhab Syafi`i kepada al-Hasan al-Za`farani (w.259H) dan Abu Sa`id al-Ashthakhari (w.328), dan belajar ilmu qira'at kepada Ahmad bin Yusuf al-Taghlibi (w.277H), seorang ulama qira'at paling terkemuka di masanya. Di Bashrah, Ath-Thabari belajar hadits kepada Abu Abdullah al-Shan`ani (w.245H), guru hadits Imam Muslim, al-Tirmidzi, al-Nasa'i dan Ibn Majah, dan Abu al-Asy`ats (w.253H), guru hadits Imam al-Bukhari dan al-Nasa'i. Di Kufah, al-Thabari belajar ilmu puisi kepada Tsa`lab (w.291H), ulama Nahwu dan bahasa Arab paling terkemuka di Kufah. Di Beirut, al-Thabari belajar ilmu qira'at kepada al-Abbas ibn al-Walid al-`Adzri, ulama qira'at kenamaan sekaligus pengikut mazhab al-Auza`i. Sedangkan di Mesir, Ath-Thabari belajar fiqih langsung kepada kolega Imam al-Syafi`i, yaitu al-Muzani (w.268H) dan belajar fiqih Maliki kepada Ibnu Abd al-Hakam dan Yunus bin Abd al-A`la.

Tidak kurang sekitar empat puluh tahun, Ath-Thabari menghabiskan waktu untuk fokus mencari ilmu di beberapa negeri dan dengan beberapa ulama terkemuka itu. Selama itu pula, Ath-Thabari hidup dalam kesederhanaan. Dan dari keseriusannya dalam mencari ilmu, Ath-Thabari menguasai begitu banyak spesialisasi keilmuan. Mulai dari tafsir Alquran, Hadits, bahasa, sastera, psikologi, bahkan ilmu kedokteran.

Sejak itu, Ath-Thabari mulai hidup menetap di sebuah daerah di Bagdad. Dan waktunya ia curahkan untuk mengajar dan menulis sejumlah karya besar yang hingga kini masih menjadi rujukan umat.

Salah satu sifat beliau yang sangat dikagumi orang-orang sekitarnya adalah zuhudnya dengan kehidupan dunia. Ath-Thabari tidak mau menerima hadiah dari siapa pun, kecuali ia mampu membalas si pemberi hadiah tersebut dengan yang senilai atau lebih.

Suatu kali, karena sebuah karya beliau yang begitu bagus, seseorang menghadiahkan Ath-Thabari uang sebesar 3000 dinar atau setara dengan 4 milyar rupiah. Dengan sopan, hadiah itu ditolak Ath-Thabari. ”Aku tidak bisa membalas hadiah sebesar itu dengan yang lebih baik,” ucap Ath-Thabari.

Mendapati jawaban itu, sang pemberi pun menegaskan bahwa hadiah itu bukan untuk mendapatkan balasan dari Ath-Thabari. Tapi, karena ingin mendekatkan diri kepada Allah. Tetap saja, Ath-Thabari menolak pemberian itu.

Ath-Thabari pernah memesan tikar untuk rumahnya yang kecil. Seorang tukang tikar pun mengukur dan memasang tikar pesanan Ath-Thabari. Setelah selesai, Ath-Thabari langsung membayar dengan uang sebesar empat dinar atau sekitar lima juta rupiah. Tukang tikar langsung kaget dan menolak uang itu. Tapi, Ath-Thabari mengatakan kalau ia tidak bisa menerima hadiah tikar itu kalau si tukang tikar tidak mau menerima hadiahnya.

Seorang menteri pernah meminta Ath-Thabari untuk menuliskan sebuah ringkasan kitab fikih yang bisa memudahkannya untuk mempelajari dan mengamalkan ibadah. Setelah selesai ditulis, sang menteri menghadiahkan Ath-Thabari uang sebesar 1000 dinar atau senilai 1,4 milyar rupiah. Dan, uang itu pun ditolak Ath-Thabari.

”Tidakkah engkau bisa gunakan uang itu untuk bersedekah?” tulis sang menteri dalam surat khususnya kepada Ath-Thabari. Tapi, tetap saja, uang itu ia tolak.

Seorang perdana menteri saat itu, sedemikian terkagumnya dengan keilmuan Imam Ath-Thabari, menyatakan diri untuk bertaklid dengan beliau. Ia menawarkan Ath-Thabari jabatan semacam hakim agung di wilayah kekuasaannya. Tapi, tawaran itu langsung ditolak Ath-Thabari.

Penolakan itu sangat disesalkan orang-orang terdekat Ath-Thabari. Mereka berdalih, ”Kalau saja kamu menerima jabatan itu, kamu bukan sekadar mendapatkan gaji besar. Tapi juga bisa menghidupkan pengajian sunnah yang biasa kamu lakukan!”

Mendapati ucapan itu, Imam Ath-Thabari menjawab, ”Sungguh, aku mengira kalian akan mencegahku ketika aku senang dengan jabatan itu!”

Allah swt. memanggil ulama terkemuka nan zuhud ini di usia 85 tahun. Imam Ath-Thabari meninggal pada tanggal 26 Ramadhan tahun 310 H di Bagdad. Sepanjang usianya, Imam Ath-Thabari menghabiskan umurnya untuk belajar dan mengajarkannya kepada umat. Sejarah mencatat karena kesibukannya dengan ilmu itu, beliau tidak sempat untuk berkeluarga.

Salah satu ucapan yang begitu berkesan dari Imam Ath-Thabari adalah hindari kekayaan yang membuat diri menjadi sombong. Dan hindari kemiskinan yang membuat diri menjadi suka meminta.

Kalimat itu bisa ditangkap sebuah puisi yang ia tulis.

Ketika aku kesulitan uang

Tidak satupun sahabatku yang tahu

Tapi ketika aku punya uang

Sahabatku ikut merasakan kesenanganku

Rasa malu menjaga air mukaku

Rasa enggan meminta adalah sifatku

Andai saja aku tepis rasa malu

Jalan menjadi kaya terlalu mudah bagiku

Mnh/Min A’lam As-Salaf, Syaikh Ahmad Farid/Asp Sbr.



Seringlah Berziarah Kubur


Senin, 25/10/2010 08:49 WIB

oleh Aidh Al-Qarni

Umar bin Abdul Aziz adalah khalifah lurus yang ahli ibadah. Imam Ahmad pernah mengatakan, bahwa tidak ada seorangpun tabi’in yang ucapannya bisa dijadikan hujjah, selain Umar bin Abdul Aziz. Ketika ajalnya sudah mendekat, dia meminta isterinya, Fatimah, “Keluarlah dari kamar ini, sebab aku melihat beberapa makhluk yang bukan bangsa manusia dan bukan pula bangsa jin, yakni malaikat”, lirihnya.

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ ﴿٣٠﴾

نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ ﴿٣١﴾

نُزُلًا مِّنْ غَفُورٍ رَّحِيمٍ ﴿٣٢﴾

“Sesungguhnya orang-orang yang berkata, ‘Tuhan kami adalah Allah, kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), ‘Janganlah kmau merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati, dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu. Kamilah pelindung-pelindung dalam kehidupan dunia dan akhirat, didalamnya (surga) kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh apa yang kamu minta. Sebagai penghormatan (bagimu) dari Allah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang”. (QS : Fushilat : 30-32)

Lalu, Umar bin Abdul Aziz bersuara sangat lirih, “Ya Allah. Teguhkanlah kami dengan kalimat yang teguh, ketika arwah kami menyesakkan kami dan penderitaan kami amat berat, sehingga tidak ada tempat lari dan berlindung kecuali kepda-Mu”, ucapnya.

يُثَبِّتُ اللّهُ الَّذِينَ آمَنُواْ بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللّهُ مَا يَشَاء ﴿٢٧﴾

“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh (dalam kehidupan) di dunia dan di akhirat, dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan Allah berbuat apa yang Dia kehendaki”. (QS : Ibrahim : 27)

Banyak orang yang ajalnya datang ketika maksiat mereka menggunung. Entah karena pembunuhan, zina, khamar, riba, nyanyian , tidak shalat lima waktu berjamaah, ataupun tidak peduli pada risalah Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam.

Laa ilaaha illallah, betapa lalainya mereka itu!

Sehabis ditangkap, Sa’id bin Jubair dibawa menghadap Al-Hajjaj.

“Siapa namamu?”, tanya Hajjaj mencomooh.



“Sa’id bin Jubair”, sahutnya.



“Bukan. Nama kamu adalah si Sial (Syaqi) bin Kusair”.



“Ibuku lebih tahu namaku daripada engkau”, jawabnya.



“Celaka kamu .. celaka pula ibumu”, balas Hajjaj, sambil melanjtukan.



“Demi Allah. Kamu akan saya masukkan ke dalam api yang menyala-nyala”, teriak Hajjaj

“Kalau aku tahu kamu sanggup melakukannya, pasti engkau sudah aku jadikan tuhan”, sergah Sa’id.



“Bawa sini harta kekayaan”, datangkanlah emas perak, cetus Hajjaj.



“Hajjaj”, kata Sa’id, “Sekiranya kekayaan ini engkau kumpulkan untuk menyelamatkan dirimu dari azab yang pedih, alangkah bagusnya. Tapi, bila engkau melakukan itu untuk riya dan ingin disebut orang, demi Allah tidak akan ada gunanya disisi Allah sedikitpun”, tegas Sa’id.

“Bawa ke sini budak perempuan yang bisa menyanyi”, perintah Hajjaj.

Lalu, Sa’id menangis.



“Apakah lagunya enak”, tanya Hajjaj.



“Demi Allah. Bukan. Aku menangis lantaran ada budak yang diperkerjakan untuk sesuatu yang b ukan untuk itu ia diciptakan, dan lantaran kayu yang dijadikan alat musik untuk digunakan bermaksiat kepda Allah”, cetus Sa’id.

Sa’id membacakan firman-Nya :

“Kemanapun kamu menghadap disanalah wajah Allah”. (QS : 115)

“Banting ke tanah!”, teriak Hajjaj penuh amarah.

Tetapi, Sa’id menjawab, “Darinya (tanah) itulah Kami menciptakan kamu dan kepadanyalah Kami akan megnembalikan kamu dan dari sanalah Kami akan mengeluarkan kamu pda waktu yang lain”. (QS : Thaha :55)

“Demi Allah. Sahya akan membunuh kamu dengan cara yang tidak eprnah digunakan orang”, kata Hajjaj.

“Hajjaj. Engkau boleh pilih cara sesukamu. Demi Allah, cara apapun yang engkau pilihl membunuhku, niscaya Allah juga akan membunuhmu dengan cara seperti itu”, cetus Sa’id.

Sebelum dibunuh, Sa’id berdo’a.

“Ya Allah. Jangan biarkan dia menindas siapapun setelah aku mati”, ucap Sa’id dengan lirih.

Kemudian, kepala Sa’id pun dipenggal oleh Hajjaj. Hanya beberapa bulan kemudian, Hajjaj meronta-ronta, karena sakit sampai Allah membinasakannya.

Tentu, hendaknya kita selalu mengingat kematian, yang akan datang setiap saat. Terkadang kita lalai dan lupa akan kematian, lupa peristiwa sesudah mati. Karena kita terperosok ke dalam maksiat, nafsu syahwat, syubhat, yang membuat Allah menjadi marah.

Diriwayatkan dari Maimun bin Mahram, ahli zuhud yang ahli ibadah dan alim, bahwa ia menggali sebuah lubang kubur di dalam rumahnya. Setiap malam ia masuk ke dalam kubur itu sambil menangis dan membaca al-Qur’an. Lalu, ia keluar lagi dan berujar kepada diri sendiri. ”Maimun sekarang engkau telah kembali ke dunia, kerjakanlah amal shaleh”, bisiknya dalam hati.

Mengingat mati bisa dilakukan dengan berziarah kubur. Seiring dengan berkembangnya peradaban, perkembangan budaya, berbagai macam godaan syahwat, ragam makanan yang lezat, corak pakaian dan barang-barang perabot, maka ziarah kubur jarang-jarang dilakukan. Akibatnya, kamatian pun dilupakan.

Ziarah kubur, mengucapkan salam kepada para penghuni makam, dan mendoakan mereka. Merenungi bagaimana pemusnah kenikmatan merenggut mereka, memasukkan mereka ke dalam liang yang gelap. Menarik mereka keluar dari rumah, gedung dan istana. Dahulu mereka makan minum, berfoya-foya, tertawa-tawa, mengendarai mobil mewah, menduduki jabatan tinggi, membangun gedung-gedung pencakar langit, dikawal tentara, dikerumuni banyak orang, bendera berkibar diatas kepala mereka, tetapi akhirnya semua direnggut dari tangan mereka, dan mereka dikuburkan ke dalam lubang-lubang yang sempti.

Dalam shahih Bukhari, Ibnu Umar ra, berkata Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam menarik pundakku, “Di dunia ini jadilah engkau seperti orang yang asing atau musafir”. Hanya orang-orang yang segera bertobat yang bersiap-siap menghadapi kematian.

Sa’id Ibnu Musayyib, ketika sekarat berujar, “Alhamdulillah. Selama empat puluh tahun, saya selalu berada di masjid Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam, ketika muazin mengumandang azan”, ucapnya. Wallahu’alam.



Jadilah Pemburu Surga

oleh Aidh al-Qarni

Islam tidak akan dapat tegak, kecuali dengan perjuangan para penganutnya. Islam tidak akan tertanam, kecuali dengan siraman darah. Oleh karena itu, guru kita, Nabi Muhammad Shallahu alaihi wa salam, gagah berani – dalam semua arti yang dikandung kata – ‘berani’. Para sahabat beliau juga orang-orang yang pemberani. Abu Bakar seorang siddiq, Umar terbunuh, Utsman juga tewas, Ali mandi darah. Delapan puluh persen sahabat beliau terbunuh.

Sehari sebelum perang Uhud, Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam bersabda diatas mimbar :

“Demi Allah yang menggenggam jiwaku, setiap orang yang terbunuh di jalan Allah pasti datang pada hari Kiamat seperti keadaannya ketika terbunuh didunia. Warnanya warna darah, tapi baunya bau minyak kesturi”.

Dalam hadist lainnya Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam bersabda :

“Sesungguhnya Allah berfirman kepada para syuhada pada hari Kiamat. Siapa yang membunuh kalian?” Mereka menjawab, “Musuh-musuh-Mu”. Dia berfirman lagi, “Mengapa kalian dibunuh?” Mereka menjawab,”Kami terbunuh karena perjuangan di jalan-Mu. ‘Dia berfirman, “Aku telah mengampuni kalian”.

Kita perlu menengok perang Uhud agar kita bisa melihat, bagaimana para leluhur kita dahulu, bagaimana keadaan kita sekarang, an apa yang kita berikan kepada Islam?

Mana para syuhada hari ini?

Mana para pahlawan Islam hari ini?

Mana peran kita dalam menyebarkan Islam hari ini?

Mana darah? Mana harta? Mana waktu? Mana pengorbanan?

Semuanya kosong.

Sehari sebelum pecah perang Uhud, Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam bermusyawarah dengan para sahabat. Beliau mengumumkan hendak memerangi Abu Sufyan dan kaum musyrikin. Beliau bertanya kepada para sahabat, “Bagaimana pendapat kalian?Apakah kita memerangi mereka di lorong-lorong kota atau kita cegat mereka di gunung Uhud”.

Orang-orang tua menjawab, “Wahai Rasulullah, lebih baik kita tetap di tempat, bertahan di lorong-lorong dan rumah-rumah kita. Kalau mereka masuk kota.klta perangi mereka”. Beliau pun setuju. Tetapi, baru selesai ucapan itu, para sahabat yang berusia muda, yan g berjumlah delapan puluh orang, keluar, lalu menghunus pedang dan memasang besi pelindung di kepala. Kemudian mereka melantunkan nasyid di luar masjjid dengan suara lantang.”Kami adalah orang-orang yang membaiat Muhammad untuk berjihad selama kami hidup”, tandas mereka.

Kemudian, seorang pemuda yang berusia sekitar dua puluh tahun berkata nyaring,”Wahai Rasulullah, pimpinlah kami ke Uhud. Jangan halangi kami masuk surga! Demi Allah, saya pasti masuk surga”. Mendengar gelora penuh semangat itu, Rasulullah bangkit. Setiap bulu di tubuh beliau berdiri. Setiap tetes darah beliau bergejolak. Beliau lalu berdiri. Beliau mengumumkan bahwa pintu-pintu surga telah dibuka dan Allah telah menempatkan diri kepada hamba-hamba-Nya . “Dengan apa kamu masuk surga?”, tanya beliau kepada para pemuda itu?

Para pemuda itu menjawab, “Dengan dua hal. Pertama, saya mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan saya tidak lari dari medan pertempuran”. Kemudian air mata Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam mengalir. Dengan mengangkat kedua tangan beliau bersabda, “Kalau kamu jujur kepada Allah, Dia pasti akan membalas kejujuranmu”.

Allah berfirman :

“Dan orang-orang yang berjihad untuk mencari keridhaan Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik”. (QS : al-Ankanbut : 69)

Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam, tak lama, berangkat menuju medan perang. Beberapa saat sebelum perang berkecamuk, beliau mencabut pedangnya dan bertanya, “Siapa yang mau memegang pedang ini?”. “Kami semua ingin memegangnya”, jawab para sahabat. Abu Dujanah bertanya, “Apa hak pedang ini, wahai Rasulullah?”, tanyanya. “Haknya adalah menebaskannya kepada kaum kafir hingga ia bengkok”, tegas Rasulullah.

Pernah anda mendengar ada pedang yang bengkok, karena digunakan membunuh musuh? Ya, ada .. dengan telapak tangan sahabat-sahabat Muhammad Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam. Kemudian Abu Dujanah mengambil pedang itu, sambil bersyair.

“Akulah yang berjanji kepada kekasihku,

Tatkala kami berada di gunung diantara rumpun kurma ..

Untuk selamanya tidak berdiri di barisan belakang

Aku membunuh dengan pedang Allah dan Rasul ..”

Kemudian Abu Dujanah menggunakan pedang untuk berperang dan membunuh orang-orang kafir, hingga pedang itu bengkok. Lalu, dia mengembalikan pedang bengkok kepada Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam. Para pahlawan lahir bermunculan.

Pintu-pintu surga dibuka.

Para malaikat ikut meramaikan pertempuran.

Pintu-pintu langit dibuka, menurunkan tentara yang dikomandani Jibril as.

Dan turun diatas gunung Uhud.

Agama ini lenyap dari muka bumi atau kebenaran ini yang menang.

Tentu, kemenangan islam yang akan datang. Tak akan berhasil mereka yang menodai dan menggunakan agama hanya untuk mendapatkan kenikmatan sesaat dengan melakukan kerjasama dengan musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya. Wallahu’alam.



Thursday, October 21, 2010

MENJAGA KEMABRURAN HAJI


Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « مَن

حَجَّ هَذَا الْبَيْتَ ، فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ ، رَجَعَ كَمَا وَلَدَتْهُ أُمُّهُ »

“Siapa yang berhaji ke Ka’bah lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak berbuat kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya” (HR Bukhari 1819)

Dari Ibnu Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْغَازِى فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَالْحَاجُّ وَالْمُعْتَمِرُ وَفْدُ اللَّهِ دَعَاهُمْ فَأَجَابُوهُ وَسَأَلُوهُ فَأَعْطَاهُمْ

“Orang yang berperang di jalan Alloh, orang yang berhaji serta berumroh adalah tamu-tamu Alloh. Alloh memanggil mereka, mereka pun memenuhi panggilan. Oleh karena itu jika mereka meminta kepada Alloh pasti akan Alloh beri” (HR Ibnu Majah no 2893, Al Bushairi mengatakan, ‘Sanadnya hasan’ dan dinilai sebagai hadits hasan oleh al Albani dalam Silsilah Shahihah ketika menjelaskan hadits no 1820).

أَمَّا خُرُوجُكَ مِنْ بَيْتِكَ تَؤُمُّ الْبَيْتَ فَإِنَّ لَكَ بِكُلِّ وَطْأَةٍ تَطَأُهَا رَاحِلَتُكَ يَكْتُبُ اللَّهُ لَكَ بِهَا حَسَنَةً , وَيَمْحُو عَنْكَ بِهَا سَيِّئَةً , وَأَمَّا وُقُوفُكَ بِعَرَفَةَ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَنْزِلُ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَيُبَاهِي بِهِمُ الْمَلائِكَةَ , فَيَقُولُ:هَؤُلاءِ عِبَادِي جَاءُونِي شُعْثًا غُبْرًا مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ يَرْجُونَ رَحْمَتِي , وَيَخَافُونَ عَذَابِي , وَلَمْ يَرَوْنِي , فَكَيْفَ لَوْ رَأَوْنِي؟فَلَوْ كَانَ عَلَيْكَ مِثْلُ رَمْلِ عَالِجٍ , أَوْ مِثْلُ أَيَّامِ الدُّنْيَا , أَوْ مِثْلُ قَطْرِ السَّمَاءِ ذُنُوبًا غَسَلَ اللَّهُ عَنْكَ , وَأَمَّا رَمْيُكَ الْجِمَارَ فَإِنَّهُ مَذْخُورٌ لَكَ , وَأَمَّا حَلْقُكَ رَأْسَكَ , فَإِنَّ لَكَ بِكُلِّ شَعْرَةٍ تَسْقُطُ حَسَنَةٌ , فَإِذَا طُفْتَ بِالْبَيْتِ خَرَجْتَ مِنْ ذُنُوبِكَ كَيَوْمِ وَلَدَتْكَ أُمُّكَ.

“Adapun keluarmu dari rumah untuk berhaji ke Ka’bah maka setiap langkah hewan tungganganmu akan Alloh catat sebagai satu kebaikan dan menghapus satu kesalahan. Sedangkan wukuf di Arafah maka pada saat itu Alloh turun ke langit dunia lalu Alloh bangga-banggakan orang-orang yang berwukuf di hadapan para malaikat.

Alloh Ta’ala berfirman (yang artinya), ‘Mereka adalah hamba-hambaKu yang datang dalam keadaan kusut berdebu dari segala penjuru dunia. Mereka mengharap kasih sayangKu, merasa takut dengan siksaKu padahal mereka belum pernah melihatKu. Bagaimana andai mereka pernah melihatKu?!

Andai engkau memiliki dosa sebanyak butir pasir di sebuah gundukan pasir atau sebanyak hari di dunia atau semisal tetes air hujan maka seluruhnya akan Alloh bersihkan.

Lempar jumrohmu merupakan simpanan pahala. Ketika engkau menggundul kepalamu maka setiap helai rambut yang jatuh bernilai satu kebaikan. Jika engkau thawaf, mengelilingi Ka’bah maka engkau terbebas dari dosa-dosamu sebagaimana ketika kau terlahir dari rahim ibumu” (HR Tabrani dalam Mu’jam Kabir no 13390, dinilai hasan li ghairihi oleh al Albani dalam Shahih al Jami’ no 1360 dan Shahih Targhib wa Tarhib no 1112).

Demikianlah di antara keutamaan orang yang meraih predikat haji mabrur, suatu yang pasti diinginkan oleh setiap orang mengerjakan ibadah haji. Namun apakah yang dimaksud dengan haji mabrur?

Dalam Tahrir Alfazh at Tanbih hal 152 karya an Nawawi disebutkan, “Menurut penjelasan Syamr dan lainnya mabrur adalah yang tidak tercampuri maksiat. Mabrur diambil dari kata-kata birr yang maknanya adalah ketaatan. Sedangkan al Azhari berpendapat bahwa makna mabrur adalah amal yang diterima (mutaqobbal), diambil dari kata-kata birr yang bermakna semua bentuk kebaikan…. Semua amal shalih bisa disebut birr”.

Dalam Syarh Muslim 5/16, an Nawawi berkata, “Pendapat yang paling kuat dan yang paling terkenal mabrur adalah yang tidak ternodai oleh dosa, diambil dari kata-kata birr yang bermakna ketaatan.

Ada juga yang berpendapat bahwa haji mabrur adalah haji yang diterima. Di antara tanda diterimanya haji seseorang adalah adanya perubahan menuju yang lebih baik setelah pulang dari pergi haji dan tidak membiasakan diri melakukan berbagai maksiat.

Ada pula yang mengatakan bahwa haji mabrur adalah haji yang tidak tercampuri unsur riya’.

Ulama yang lain berpendapat bahwa haji mabrur adalah jika sepulang haji tidak lagi bermaksiat.

Dua pendapat yang terakhir telah tercakup dalam pendapat-pendapat sebelumnya”.

Pendapat yang dipilih oleh an Nawawi di atas dikomentari oleh Ali al Qori, “Inilah pendapat yang paling mendekati kebenaran dan paling selaras dengan kaedah-kaedah fiqh. Namun meski demikian pendapat ini mengandung ketidakjelasan karena tidak ada satupun yang berani memastikan bahwa dirinya terbebas dari dosa” (al Dzakhirah al Katsirah hal 27, terbitan Maktab Islami dan Dar al ‘Ammar).

Al Qurthubi mengatakan, “Para pakar fiqh menegaskan bahwa yang dimaksud haji mabrur adalah haji yang tidak dikotori dengan kemaksiatan pada saat melaksanakan rangkaian manasiknya. Sedangkan al Fara’ berpendapat bahwa haji mabrur adalah jika sepulang haji tidak lagi hobi bermaksiat. Dua pendapat ini disebutkan oleh Ibnul ‘Arabi. Menurut hemat kami, haji mabrur adalah haji yang tidak dikotori oleh maksiat saat melaksanakan manasik dan tidak lagi gemar bermaksiat setelah pulang haji” (Tafsir al Qurthubi 2/408).

قال الحسن: الحج المبرور هو أن يرجع زاهدا في الدنيا راغبا في الاخرة.

Al Hasan al Bashri berkata, “Haji mabrur adalah jika sepulang haji menjadi orang yang zuhud dengan dunia dan merindukan akherat” (al Dzakhirah al Katsirah hal 28 dan Tafsir al Qurthubi 4/142 dan 2/408).

عن جابر رضي الله عنه قال : سئل رسول الله صلى الله عليه و سلم ما بر الحج ؟ قال : إطعام الطعام و طيب الكلام

Dari Jabir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang haji yang mabrur, jawaban beliau, “Suka bersedekah dengan bentuk memberi makan dan memiliki tutar kata yang baik” (HR Hakim no 1778, Hakim berkata, “Ini adalah hadits yang sanadnya shahih” dan dinilai hasan oleh al Albani dalam Shahih Targhib wa Tarhib no 1094).

Semoga Alloh jadikan para jamaah haji kita sebagai orang-orang yang berhasil menggapai predikat haji mabrur. Untuk itu dibutuhkan kesabaran ekstra saat melaksanakan rangkaian manasik dan kesungguhan untuk memperbaiki diri sepulang pergi haji.

Penulis: Ustadz Aris Munandar, SS





Wednesday, October 20, 2010

Tentram Hati dengan Mengingat Allah

Seiring dengan makin jauhnya zaman dari masa kenabian shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka semakin banyak pula kesesatan dan bid’ah yang tersebar di tengah kaum muslimin[1], sehingga indahnya sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kebenaran makin asing dalam pandangan mereka. Bahkan lebih dari itu, mereka menganggap perbuatan-perbuatan bid’ah yang telah tersebar sebagai kebenaran yang tidak boleh ditinggalkan, dan sebaliknya jika ada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dihidupkan dan diamalkan kembali, mereka akan mengingkarinya dan memandangnya sebagai perbuatan buruk.

Sahabat yang mulia, Hudzaifah bin al-Yaman radhiallahu ‘anhu berkata, “Demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, sungguh perbuatan-perbuatan bid’ah akan bermunculan (di akhir jaman) sehingga kebenaran (sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak lagi terlihat kecuali (sangat sedikit) seperti cahaya yang (tampak) dari celah kedua batu (yang sempit) ini. Demi Allah, sungguh perbuatan-perbuatan bid’ah akan tersebar (di tengah kaum muslimin), sampai-sampai jika sebagian dari perbuatan bid’ah tersebut ditinggalkan, orang-orang akan mengatakan: sunnah (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) telah ditinggalkan.”[2]

Keadaan ini semakin diperparah kerusakannya dengan keberadaan para tokoh penyeru bid’ah dan kesesatan, yang untuk mempromosikan dagangan bid’ah, mereka tidak segan-segan memberikan iming-iming janji keutamaan dan pahala besar bagi orang-orang yang mengamalkan ajaran bid’ah tersebut.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau pada saat ini tidak sedikit kaum muslimin yang terpengaruh dengan propaganda tersebut, sehingga banyak di antara mereka yang lebih giat dan semangat mengamalkan berbagai bentuk zikir, wirid maupun shalawat bid’ah yang diajarkan para tokoh tersebut daripada mempelajari dan mengerjakan amalan yang bersumber dari petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau radhiallahu ‘anhum.

Tentu saja ini termasuk tipu daya setan untuk memalingkan manusia dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lurus. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الإنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا

“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari kalangan) manusia dan (dari kalangan) jin, yang mereka satu sama lain saling membisikkan perkataan-perkataan yang indah untuk menipu (manusia)” (Qs. al-An’am: 112).

Bahkan, setan berusaha menghiasi perbuatan-perbuatan bid’ah dan sesat tersebut sehingga terlihat indah dan baik di mata manusia, dengan mengesankan bahwa dengan mengerjakan amalan bid’ah tersebut hati menjadi tenang dan semua kesusahan yang dihadapi akan teratasi (??!!). Pernyataan-pernyataan seperti ini sangat sering terdengar dari para pengikut ajaran-ajaran bid’ah tersebut, sebagai bukti kuatnya cengkraman tipu daya setan dalam diri mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ

“Apakah orang yang dihiasi perbuatannya yang buruk (oleh setan) lalu ia menganggap perbuatannya itu baik, (sama dengan dengan orang yang tidak diperdaya setan?), maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya” (Qs. Faathir:8).

Sumber ketenangan dan penghilang kesusahan yang hakiki

Setiap orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala wajib meyakini, bahwa sumber ketenangan jiwa dan ketentraman hati yang hakiki adalah dengan berzikir kepada kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, membaca al-Qur’an, berdoa kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya yang maha Indah, dan mengamalkan ketaatan kepada-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan berzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (Qs. ar-Ra’du: 28).

Artinya dengan berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala segala kegalauan dan kegundahan dalam hati mereka akan hilang dan berganti dengan kegembiraan dan kesenangan[3].

Bahkan, tidak ada sesuatupun yang lebih besar mendatangkan ketentraman dan kebahagiaan bagi hati manusia melebihi berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala [4].

Salah seorang ulama salaf berkata, “Sungguh kasihan orang-orang yang cinta dunia, mereka (pada akhirnya) akan meninggalkan dunia ini, padahal mereka belum merasakan kenikmatan yang paling besar di dunia ini.” maka ada yang bertanya, “Apakah kenikmatan yang paling besar di dunia ini?” Ulama ini menjawab, “Cinta kepada Allah, merasa tenang ketika mendekatkan diri kepada-Nya, rindu untuk bertemu dengan-Nya, serta merasa bahagia ketika berzikir dan mengamalkan ketaatan kepada-Nya.”[5]

Inilah makna ucapan yang masyhur dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah – semoga Allah U merahmatinya –, “Sesungguhnya di dunia ini ada jannnah (surga), barangsiapa yang belum masuk ke dalam surga di dunia ini maka dia tidak akan masuk ke dalam surga di akhirat nanti.”[6]

Makna “surga di dunia” dalam ucapan beliau ini adalah kecintaan (yang utuh) dan ma’rifah (pengetahuan yang sempurna) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala (dengan memahami nama-nama dan sifat-sifat-Nya dengan cara baik dan benar) serta selalu berzikir kepada-Nya, yang dibarengi dengan perasaan tenang dan damai (ketika mendekatkan diri) kepada-Nya, serta selalu mentauhidkan (mengesakan)-Nya dalam kecintaan, rasa takut, berharap, bertawakkal (berserah diri) dan bermuamalah, dengan menjadikan (kecintaan dan keridhaan) Allah Subhanahu wa Ta’ala satu-satunya yang mengisi dan menguasai pikiran, tekad dan kehendak seorang hamba. Inilah kenikmatan di dunia yang tiada bandingannya yang sekaligus merupakan qurratul ‘ain (penyejuk dan penyenang hati) bagi orang-orang yang mencintai dan mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala [7].

Demikian pula jalan keluar dan penyelesaian terbaik dari semua masalah yang di hadapi seorang manusia adalah dengan bertakwa kepada Allah U, sebagaimana dalam firman-Nya,

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar (dalam semua masalah yang dihadapinya), dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (QS. ath-Thalaaq: 2-3).

Ketakwaan yang sempurna kepada Allah tidak mungkin dicapai kecuali dengan menegakkan semua amal ibadah, serta menjauhi semua perbuatan yang diharamkan dan dibenci oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.[8]

Dalam ayat berikutnya Allah berfirman,

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya.” (Qs. ath-Thalaaq: 4).

Artinya: Allah akan meringankan dan memudahkan (semua) urusannya, serta menjadikan baginya jalan keluar dan solusi yang segera (menyelesaikan masalah yang dihadapinya).[9]

Adapun semua bentuk zikir, wirid maupun shalawat yang tidak bersumber dari petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, meskipun banyak tersebar di masyarakat muslim, maka semua itu adalah amalan buruk dan tidak mungkin akan mendatangkan ketenangan yang hakiki bagi hati dan jiwa manusia, apalagi menjadi sumber penghilang kesusahan mereka. Karena, semua perbuatan tersebut termasuk bid’ah[10] yang jelas-jelas telah diperingatkan keburukannya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya semua perkara yang diada-adakan adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat, dan semua yang sesat (tempatnya) dalam neraka.”[11]

Hanya amalan ibadah yang bersumber dari petunjuk al-Qur’an dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bisa membersihkan hati dan mensucikan jiwa manusia dari noda dosa dan maksiat yang mengotorinya, yang dengan itulah hati dan jiwa manusia akan merasakan ketenangan dan ketentraman.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ

“Sungguh, Allah telah memberi karunia (yang besar) kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus kepada mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, menyucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur-an) dan al-Hikmah (as-Sunnah). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Rasul) itu, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Qs. Ali ‘Imraan: 164).

Makna firman-Nya “menyucikan (jiwa) mereka” adalah membersihkan mereka dari keburukan akhlak, kotoran jiwa dan perbuatan-perbuatan jahiliyyah, serta mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan menuju cahaya (hidayah Allah Subhanahu wa Ta’ala).[12]

Dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ

“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu (al-Qur’an) dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada (hati manusia), dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Qs. Yuunus: 57).

Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan perumpaan petunjuk dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yang beliau bawa seperti hujan baik yang Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan dari langit, karena hujan yang turun akan menghidupkan dan menyegarkan tanah yang kering, sebagaimana petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menghidupkan dan menentramkan hati manusia. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya perumpaan bagi petunjuk dan ilmu yang Allah wahyukan kepadaku adalah seperti air hujan (yang baik) yang Allah turunkan ke bumi…“[13]

Ketenangan batin yang palsu

Kalau ada yang berkata, “Realitanya di lapangan banyak kita dapati orang-orang yang mengaku merasakan ketenangan dan ketentraman batin (?) setelah mengamalkan zikir-zikir, wirid-wirid dan shalawat-shalawat bid’ah lainnya.”

Jawabannya: Kenyataan tersebut di atas tidak semua bisa diingkari, meskipun tidak semua juga bisa dibenarkan, karena tidak sedikit kebohongan yang dilakukan oleh para penggemar zikir-zikir/wirid-wirid bid’ah tersebut untuk melariskan dagangan bid’ah mereka.

Kalaupun pada kenyataannya ada yang benar-benar merasakan hal tersebut di atas, maka dapat dipastikan bahwa itu adalah ketenangan batin yang palsu dan semu, karena berasal dari tipu daya setan dan tidak bersumber dari petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan, ini termasuk perangkap setan dengan menghiasi amalan buruk agar telihat indah di mata manusia.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ

“Apakah orang yang dihiasi perbuatannya yang buruk (oleh setan) lalu ia menganggap perbuatannya itu baik, (sama dengan dengan orang yang tidak diperdaya setan?), maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” (Qs. Faathir: 8).

Artinya: setan menghiasi perbuatan mereka yang buruk dan rusak, serta mengesankannya baik dalam pandangan mata mereka.[1]

Dalam ayat lain Dia Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الإنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا

“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari kalangan) manusia dan (dari kalangan) jin, yang mereka satu sama lain saling membisikkan perkataan-perkataan yang indah untuk menipu (manusia).” (Qs. al-An’aam: 112).

Artinya: para setan menghiasi amalan-amalan buruk bagi manusia untuk menipu dan memperdaya mereka.[2]

Demikianlah gambaran ketenangan batin palsu yang dirasakan oleh orang-orang yang mengamalkan zikir-zikir/wirid-wirid bid’ah, yang pada hakikatnya bukan ketenangan batin, tapi merupakan tipu daya setan untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan mengesankan pada mereka bahwa perbuatan-perbuatan tersebut baik dan mendatangkan ketentraman batin.

Bahkan, sebagian mereka mengaku merasakan kekhusyuan hati yang mendalam ketika membaca zikir-zikir/wirid-wirid bid’ah tersebut melebihi apa yang mereka rasakan ketika membaca dan mengamalkan zikir-zikir/wirid-wirid yang bersumber dari wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Padahal, semua ini justru merupakan bukti nyata kuatnya kedudukan dan tipu daya setan bersarang dalam diri mereka. Karena, bagaimana mungkin setan akan membiarkan manusia merasakan ketenangan iman dan tidak membisikkan was-was dalam hatinya?

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah membuat perumpaan hal ini[3] dengan seorang pencuri yang ingin mengambil harta orang. Manakah yang akan selalu diintai dan didatangi oleh pencuri tersebut: rumah yang berisi harta dan perhiasan yang melimpah atau rumah yang kosong melompong bahkan telah rusak?

Jawabnya: jelas rumah pertama yang akan ditujunya, karena rumah itulah yang bisa dicuri harta bendanya. Adapun rumah yang pertama, maka akan “aman” dari gangguannya karena tidak ada hartanya, bahkan mungkin rumah tersebut merupakan lokasi yang strategis untuk dijadikan tempat tinggal dan sarangnya.

Demikinlah keadaan hati manusia, hati yang dipenuhi tauhid dan keimanan yang kokoh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena selalu mengamalkan petunjuk-Nya, akan selalu diintai dan digoda setan untuk dicuri keimanannya, sebagaiamana rumah yang berisi harta akan selalu diintai dan didatangi pencuri.

Oleh karena itu, dalam sebuah hadits shahih, ketika salah seorang sahabat radhiallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku membisikkan (dalam) diriku dengan sesuatu (yang buruk dari godaan setan), yang sungguh jika aku jatuh dari langit (ke bumi) lebih aku sukai dari pada mengucapkan/melakukan keburukan tersebut.” Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, segala puji bagi Allah yang telah menolak tipu daya setan menjadi was-was (bisikan dalam jiwa).”[4]

Dalam riwayat lain yang semakna, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itulah (tanda) kemurnian iman.”[5]

Dalam memahami hadits yang mulia ini ada dua pendapat dari para ulama:

- Penolakan dan kebencian orang tersebut terhadap keburukan yang dibisikkan oleh setan itulah tanda kemurnian iman dalam hatinya.

- Adanya godaan dan bisikkan setan dalam jiwa manusia itulah tanda kemurnian iman, karena setan ingin merusak iman orang tersebut dengan godaannya.[6]

Adapun hati yang rusak dan kosong dari keimanan karena jauh dari petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka hati yang gelap ini terkesan “tenang” dan “aman” dari godaan setan, karena hati ini telah dikuasai oleh setan, dan tidak mungkin “pencuri akan mengganggu dan merampok di sarangnya sendiri”.

Inilah makna ucapan sahabat yang mulia, Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, ketika ada yang mengatakan kepada beliau, “Sesungguhnya, orang-orang Yahudi menyangka bahwa mereka tidak diganggu bisikan-bisikan (setan) dalam shalat mereka.” Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma menjawab, “Apa yang dapat dikerjakan oleh setan pada hati yang telah hancur berantakan?”[7]

Nasehat dan penutup

Tulisan ringkas ini semoga menjadi motivasi bagi kaum muslimin untuk meyakini indahnya memahami dan mengamalkan petunjuk Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang hanya dengan itulah seorang hamba bisa meraih kebahagiaan dan ketenangan jiwa yang hakiki dalam kehidupannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ

“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada suatu yang memberi (kemaslahatan)[8] hidup bagimu.” (Qs. al-Anfaal: 24).

Imam Ibnul Qayyim – semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatinya – berkata, “(Ayat ini menunjukkan) bahwa kehidupan yang bermanfaat (indah) hanyalah didapatkan dengan memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, barangsiapa yang tidak memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya, maka dia tidak akan merasakan kehidupan (yang bahagia dan indah)… Maka, kehidupan baik (bahagia) yang hakiki adalah kehidupan seorang yang memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya secara lahir maupun batin.”[9]

Sebagai penutup, akan kami kutip nasihat Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu yang berbunyi, “Wahai saudarakau sesama muslim, waspada dan hindarilah (semua) bentuk zikir dan wirid bid’ah yang akan menjerumuskanmu ke dalam jurang syirik (menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta’ala). Berkomitmenlah dengan zikir (wirid) yang bersumber dari (petunjuk) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang berbicara bukan dengan landasan hawa nafsu, (melainkan dari wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala). Dengan mengikuti (petunjuk) beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, (kita akan meraih) hidayah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan keselamatan (di dunia dan akhirat). (Sebaliknya) dengan menyelisihi (petunjuk) beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, menjadikan amal perbuatan kita tertolak (tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan (dalam agama Islam) yang tidak sesuai dengan petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HSR. Muslim)[10].

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 23 Syawwal 1431 H

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, M.A

Artikel www.muslim.or.id



Tuesday, October 19, 2010

Menutup Aurat


Tazkiyatun Nufus

25/8/2010
16 Ramadhan 1431 H
Hits: 7.346

Oleh: Tim Kajian Manhaj Tarbiyah

Aurat dan Pakaian

dakwatuna.com – Keberhasilan pertama kali yang diperoleh iblis dalam menggoda manusia setelah ia mendapat vonis diusir dari surga adalah dengan melucuti pakaian Adam dan Hawa sehingga terbuka auratnya.

Allah berfirman:

فَلَمَّا ذَاقَا الشَّجَرَةَ بَدَتْ لَهُمَا سَوْآتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِن وَرَقِ الْجَنَّةِ ۖ ﴿٢٢﴾

“Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga… (QS. 7/Al A’raf: 22)

Dan ketika aurat telah terbuka maka dampak maksiat yang muncul kemudian sebagai akibat logisnya tidak dapat dihindarkan lagi. Di samping telah runtuhnya kehormatan dan kemuliaan seseorang dengan aurat yang terbuka itu. Maka Allah swt memperingatkan manusia agar berhati-hati menjaga auratnya dari godaan setan yang senantiasa mengintainya.

Allah berfirman:

يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا ۖ وَلِبَاسُ التَّقْوَىٰ ذَٰلِكَ خَيْرٌ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ ﴿٢٦﴾ يَا بَنِي آدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُم مِّنَ الْجَنَّةِ يَنزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْآتِهِمَا ۗ إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ ۗ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ ﴿٢٧﴾

“Hai anak Adam sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah mudahan mereka selalu ingat. Hai anak Adam janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihatmu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah jadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman. QS. 7/Al A’raf: 26-27

Makna Aurat

Kata “aurat” menurut bahasa berarti an naqshu (kekurangan). Dan dalam istilah syar’iy (agama), kata aurat berarti: sesuatu yang wajib di tutup dan haram dilihat. Dan para ulama telah bersepakat tentang kewajiban menutup aurat baik dalam shalat maupun di luar shalat. [1]

Menjaga aurat adalah konsekuensi logis dari konsep menundukkan pandangan, atau sering pula disebut sebagai langkah kedua dalam mengendalikan keinginan dan membangun kesadaran, setelah konsep menundukkan pandangan. Dari itulah dua hal ini diletakkan dalam satu rangkaian ayat yang mengisyaratkan adanya hubungan sebab akibat, atau keduanya sebagai dua langkah strategis yang saling mendukung.

Hakikat menutup Aurat

Hakikat pakaian menurut Islam ialah untuk menutup aurat, yaitu menutup bagian anggota tubuh yang tidak boleh dilihat oleh orang lain. Syariat Islam mengatur hendaknya pakaian tersebut tidak terlalu sempit atau ketat, tidak terlalu tipis atau menerawang, warna bahannya pun tidak boleh terlalu mencolok, dan model pakaian wanita dilarang menyerupai pakaian laki-laki. Selanjutnya, baik kaum laki-laki maupun perempuan dilarang mengenakan pakaian yang mendatangkan rasa berbangga-bangga, bermegah-megahan, takabur dan menonjolkan kemewahan yang melampaui batas.

Aurat Laki-laki dan Hukum Menutupnya

dakwatuna.com – Aurat laki-laki yang harus ditutup saat menunaikan shalat adalah qubul (kemaluan bagian depan) dan dubur (kemaluan bagian belakang), adapun di luar itu, mulai dari paha, pusar dan lutut, para ulama berbeda pendapat; sebagian ulama menganggapnya sebagai aurat dan sebagian lagi tidak menganggapnya sebagai aurat.

Pendapat pertama :

Bahwa paha, pusar dan lutut bukan aurat

Mereka beralasan :

Nabi bersabda :

عن عائشة رضي الله عنها: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان جالسا كاشفا عن فخذه، فاستأذن أبو بكر فأذن له وهو على حاله، ثم استأذن عمر فأذن له، وهو على حاله ثم استأذن عثمان فأرخى عليه ثيابه. فلما قاموا قلت: يا رسول الله استأذن أبو بكر وعمر فأذنت لهما.

وأنت على حالك، فلما استأذن عثمان أرخيت عليك ثيابك؟ فقال: “يا عائشة ألا أستحي من رجل والله إن الملائكة لتستحي منه” رواه أحمد، وذكره البخاري تعليقا.

Dari Aisyah RA, bahwa Rasulullah saw saat duduk pahanya terbuka, lalu Abu Bakar meminta izin kepada Rasul, beliau pun mengizinkannya dan beliau dalam keadaan seperti semula, kemudian Umar meminta izin dan beliau mengizinkannya dan beliau dalam keadaan seperti itu, kemudian Utsman pun ikut meminta izin namun beliau menurunkannya pakaiannya, setelah mereka pergi aku berkata : Wahai Rasulullah ketika Abu Bakar dan Umar meminta izin engkau mengizinkan keduanya. Dan engkau dalam keadaan semula, namun ketika Utsman meminta izin engkau mengulurkan pakaianmu ? maka beliau bersabda : Wahai Aisyah, apakah aku tidak malu dari seseorang, demi Allah para malaikat lebih malu darinya”. (HR. Ahmad, dan disebutkan oleh imam Bukhari dalam ta’liqnya)

وعن أنس: “أن النبي صلى الله عليه وسلم يوخ خيبر حسر الازار عن فخذه، حتى إني لانظر إلى بياض فخذه” رواه أحمد والبخاري.

Dari Anas RA: bahwa Nabi saw membuka pada saat Khaibar kain sarungnya sehingga terbuka pahanya, sampai aku dapat melihat pahanya yang berwarna putih. (HR. Ahmad dan Bukhari)

Ibnu Hazm berkata : Jelas bahwa paha bukan aurat, sekiranya merupakan aurat maka Allah tidak akan menyingkapkannya padahal beliau seorang yang suci dan maksum dari manusia, saat beliau menyampaikan risalahnya dan tidak diperlihatkan pahanya di hadapan Anas bin Malik dan yang lainnya.

وعن مسلم عن أبي العالية البراء قال: إن عبد الله ابن الصامت ضرب فخذي وقال: إني سألت أبا ذر فضرب فخذي كما ضربت فخذك وقال: إني سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم كما سألتني فضرب فخذي كما ضربت فخذك وقال: (صل الصلاة لوقتها) إلى آخر الحديث.

Dari Imam Muslim, dari Abu Al-‘Aliyah al-barra berkata : bahwa Abdullah bin As-shamit memukul paha saya, dia berkata : lalu saya bertanya kepada Abu Dzar, maka beliau memukul paha saya seperti Aku memukul paha kamu, kemudian dia berkata : kemudian saya bertanya kepada Rasulullah saw seperti yang kamu Tanya kepadaku maka beliau pun memukul saya seperti aku memukul paha kamu, dan beliau bersabda : “Dirikanlah shalat pada waktunya…sampai akhir hadits.

Ibnu Hazm berkata : jika paha sebagai bagian dari aurat maka Rasulullah saw tidak akan menyentuhnya dari Abu Dzar dengan tangannya yang suci. Dan jika paha merupakan aurat menurut Abu Dzar maka tidak menyentuh paha Abdullah bin Shamit dengan tangannya, begitu pun Abdullah bin Shamit dan Abu al-Aliyah.

Pendapat kedua :

Bahwa paha, pusar dan lutut adalah aurat.

Mereka beralasan :

Hadits nabi saw :

عن محمد بن جحش قال: مر رسول الله صلى الله عليه وسلم على معمر، وفخذاه مكشوفتان فقال :”يا معمر غط فخذيك فإن الفخذين عورة” رواه أحمد والحاكم والبخاري في تاريخه، وعلقه في صحيحه.

Dari Muhammad bin Jahsy berkata : Rasulullah saw melewati ma’mar sementara kedua pahanya tersingkap, beliau bersabda : “Wahai Ma’mar tutuplah kedua pahamu karena paha itu adalah aurat”. (HR. Ahmad, Hakim dan Bukhari).

وعن جرهد قال: مر رسول الله صلى الله عليه وسلم وعلي بردة وقد انكشفت فخذي فقال: “غط فخذيك فإن الفخذ عورة” رواه مالك وأحمد وأبو داود والترمذي وقال: حسن: وذكره البخاري في صحيحه معلقا.

Dan dari Jurhud berkata : Rasulullah saw lewat pada Burdah dan kedua pahanya tersingkap, beliau bersabda : “Tutuplah kedua pahamu karena paha itu adalah aurat”. (HR. Malik, Ahmad, Hakim, Abu Dawud dan Tirmidzi serta Bukhari dalam shahihnya).

Demikian dua pendapat tentang batasan aurat laki-laki, namun bagi kita untuk lebih berhati-hati, saat akan menunaikan shalat maka kita menutup aurat kita mulai dari pusar hingga dua lututnya sebisa mungkin.

Aurat laki-laki bersama dengan laki-laki.

Bersama dengan kaum lelaki, ia tidak boleh menampakkan bagian antara lutut dan pusarnya, baik laki-laki yang melihatnya itu kerabatnya maupun orang lain, baik muslim maupun kafir. Adapun selain anggota tubuh itu boleh terlihat selama tidak ada fitnah.

Rasulullah bersabda :

Artinya: Apa yang ada di antara pusar dan lutut adalah aurat. (H.R. Al Hakim)

Rasulullah saw bersabda :

Artinya: Tutuplah pahamu, karena paha lelaki adalah aurat”. (H.R. Al Hakim)

Aurat laki-laki di hadapan wanita

Seorang wanita muslimah diperbolehkan melihat kaum lelaki yang berjalan di jalan-jalan, atau memainkan permainan yang tidak diharamkan, yang sedang berjual beli, dan sebagainya.

Rasulullah SAW menyaksikan orang-orang Habsyiy bermain lembing di dalam masjid pada hari raya dan Aisyah ikut menyaksikan mereka dari belakang beliau. Rasulullah menghalangi Aisyah dari mereka, sampai ia merasa bosan dan pulang. Peristiwa ini terjadi pada tahun ke tujuh Hijriyah. [1]

Sedangkan hadits yang mengatakan :

“Berhijablah kalian berdua dari padanya. Apakah kalian berdua buta? Bukankah kalian berdua melihatnya?”[2] Menunjukkan bahwa Ummu Salamah dan Maimunah berkumpul bersama Ibnu Ummi Maktum di dalam satu majelis, mereka bertemu pandang dan berhadap hadapan.

Pada kenyataannya, memang sangat berbeda antara pandangan laki-laki pada wanita dan pandangan wanita pada laki-laki. Wanita dengan rasa malu yang tinggi akan cenderung pasif, sedangkan laki-laki dengan sifat pemberaninya akan cenderung aktif dan kreatif.

Kesimpulannya, wanita diperbolehkan melihat lelaki lain dengan dua syarat, yaitu :

Pertama, tidak dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah.

Kedua, tidak berada dalam satu majelis berhadap-hadapan.



Aurat Wanita Dan Hukum Menutupnya

Yang menjadi dasar aurat wanita adalah:

1. Al-Qur’an

Allah SWT berfirman :

“Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman : Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan khumur (jilbab)nya ke dadanya”. (QS. An-Nur : 30-31)

Ayat ini menegaskan empat hal :

a. Perintah untuk menahan pandangan dari yang diharamkan oleh Allah.

b. Perintah untuk menjaga kemaluan dari perbuatan yang haram.

c. Larangan untuk menampakkan perhiasan kecuali yang biasa tampak.

d. Perintah untuk menutupkan khumur ke dada. Khumur adalah bentuk jamak dari khimar yang berarti kain penutup kepala. Atau dalam bahasa kita disebut jilbab.

Allah SWT berfirman :

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang-orang mukmin : Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal dan oleh karenanya mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Qs. Al-Ahzab: 59).

Jilbab dalam bahasa Arab berarti pakaian yang menutupi seluruh tubuh (pakaian kurung), bukan berarti jilbab dalam bahasa kita (lihat arti kata khimar di atas). Ayat ini menjelaskan pada kita bahwa menutup seluruh tubuh adalah kewajiban setiap mukminah dan merupakan tanda keimanan mereka.

2. Hadits Nabi SAW

Dalam riwayat Aisyah RA, bahwasanya Asma binti Abu Bakar masuk menjumpai Rasulullah dengan pakaian yang tipis, lantas Rasulullah berpaling darinya dan berkata : Hai Asma, sesungguhnya jika seorang wanita sudah mencapai usia haidh (akil baligh) maka tak ada yang layak terlihat kecuali ini, sambil beliau menunjuk wajah dan telapak tangan. (HR. Abu Daud dan Baihaqi).

Hadits ini menunjukkan dua hal:

1. Kewajiban menutup seluruh tubuh wanita kecuali wajah dan telapak tangan.

2. Pakaian yang tipis tidak memenuhi syarat untuk menutup aurat.

Dari kedua dalil di atas jelaslah batasan aurat bagi wanita, yaitu seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangan. Dari dalil tersebut pula kita memahami bahwa menutup aurat adalah wajib. Berarti jika dilaksanakan akan menghasilkan pahala dan jika tidak dilakukan maka akan menuai dosa.

Kewajiban menutup aurat ini tidak hanya berlaku pada saat shalat saja namun juga pada semua tempat yang memungkinkan ada laki-laki lain bisa melihatnya.

A. Aurat wanita bersama wanita

Wanita bersama dengan kaum wanita, bagaikan laki-laki bersama dengan laki-laki, diperbolehkan melihat seluruh badannya kecuali antara lutut dan pusarnya, kecuali diindikasikan akan membawa fitnah, maka tidak boleh menampakkan bagian tubuh itu. Hanya saja kepada wanita yang tidak seagama, wanita muslimah tidak boleh menampakkan auratnya sebagaimana kepada sesama wanita muslimah. Karena wanita yang tidak seagama berstatus orang lain bagi wanita muslimah. Allah berfirman :

Artinya: …atau wanita-wanita Islam…. (QS. An Nur/24:30)

B. Aurat wanita di hadapan laki-laki

Keberadaan wanita di hadapan lawan jenisnya memiliki rincian hukum yang berbeda-beda, yaitu:

a. Di hadapan laki-laki lain, yang tidak ada hubungan mahram.

Maka seluruh badan wanita adalah aurat, kecuali wajah dan telapak tangan. Karena keduanya diperlukan dalam bermuamalah, memberi dan menerima.

Pandangan laki-laki kepada wajah dan telapak tangan wanita bisa diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu:

1. Tidak diperbolehkan dengan sengaja melihat wajah dan telapak tangan wanita lain tanpa tujuan syar’i. Dan jika tanpa sengaja melihatnya maka segera harus memalingkan pandangan seperti yang telah dijelaskan pada pandangan faj’ah (tanpa sengaja).

2. Melihat karena ada tujuan syar’i dan tidak ada fitnah, seperti melihat untuk melamar. Rasulullah menyuruh Mughirah bin Syu’bah untuk melihat wanita yang hendak dinikahinya:

“Jika salah seorang di antaramu, meminang seorang wanita maka jika ia mampu melihat bagian yang mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah. (H.R. Ahmad, dan Abu Daud)

Dan untuk semua tujuan itu, seseorang diperbolehkan melihat wajahnya, yang dengan melihat wajah itu sudah cukup untuk mengenalinya.

3. Memandang dengan syahwat, inilah pandangan terlarang, seperti yang disebutkan dalam hadits Nabi:

Nabi saw bersabda :

“Telah ditetapkan atas setiap anak Adam bagian dari zina, zina mata adalah pandangannya, zina mulut adalah ucapannya, zina telinga adalah mendengarkannya, zina tangan adalah memegangnya, zina kaki adalah melangkah menemuinya, nafsunya berharap dan berselera, kemaluannya membenarkan atau mendustakannya. (H.R. Ibnu Majah)

Asbabun nuzul ayat 30 ini sangat memperjelas kewajiban menjaga pandangan, yaitu kisah seorang laki-laki yang lewat di salah satu jalan di Madinah, ia memandangi seorang wanita. Dan wanita itupun membalas memandanginya. Setan ikut bermain menggoda keduanya, sehingga keduanya saling mengagumi. Sambil berjalan laki-laki itu terus memandangnya hingga ia menabrak tembok dan berdarah hidungnya. Ia berkata:

“Demi Allah! Saya tidak akan membasuh darah ini sebelum saya menemui Rasulullah SAW lalu saya ceritakan kejadian ini.”

Laki-laki itu segera menemui Nabi dan menceritakan kejadiannya. Nabi bersabda:

“Inilah hukuman dosamu”. Dan Allah menurunkan ayat 30 dan 31 ini.[1]

Pengecualian dalam hukum ini adalah jika berada dalam keadaan terpaksa, seperti penglihatan dokter muslim yang terpercaya untuk pengobatan, khitan, atau penyelamatan dari bahaya kebakaran, tenggelam, dsb.

b. Di hadapan laki-laki yang memiliki hubungan mahram

Ada ulama yang mengatakan bahwa dalam kondisi itu wanita hanya boleh menampakkan bagian tubuh yang biasa terlihat sewaktu bekerja, yaitu: rambut, leher, lengan, dan betis.

Allah berfirman :

“Dan hendaklah mereka menutup kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasan-nya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka” ( QS. An Nur/24:31)

c. Di hadapan suami

Seorang wanita di hadapan suaminya boleh menampakkan seluruh anggota badannya. Karena segala sesuatu yang boleh dinikmati, tentu boleh juga dilihat.

Allah berfirman :

“kecuali kepada suami mereka, …,

Ada sebagian ulama yang mengatakan makruh melihat kemaluan. Karena Aisyah RA mengatakan tentang hubungannya dengan Nabi Muhammad SAW:

Artinya: “Saya tidak pernah melihat darinya dan ia tidak pernah melihat dariku. (H.R. At Tirmidzi)

d. Budak wanita di hadapan orang yang tidak boleh menikmatinya

Aurat budak wanita di hadapan laki-laki yang tidak boleh menikmatinya adalah seperti aurat laki-laki, yaitu antara lutut dan pusar. Dan jika di hadapan tuan yang boleh menikmatinya maka kedudukannya bagaikan istri dengan suaminya.

Allah berfirman :

“atau budak-budak yang mereka miliki,….

Islam Agama Bersih dan Cantik

dakwatuna.com – Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah SAW pernah bersabda sebagai berikut: “Menjadi bersihlah kamu, karena sesungguhnya Islam itu bersih.” (HR. Ibnu Hiban)

Dan sabdanya pula: “Kebersihan itu dapat mengajak orang kepada iman. Sedang iman itu akan bersama pemiliknya ke Surga.” ( HR. Thabrani)

Rasulullah SAW sangat menekankan tentang masalah kebersihan pakaian, badan rumah, dan jalan-jalan. Dan lebih serius lagi, yaitu tentang kebersihan gigi, tangan dan kepala.

Ini bukan suatu hal yang mengherankan, karena Islam telah meletakkan suci (bersih) sebagai kunci bagi para peribadatannya yang tertinggi yaitu shalat. Oleh karena itu tidak akan diterima shalatnya seorang muslim sehingga badannya bersih, pakaiannya bersih dan tempat yang dipakai pun dalam keadaan bersih. Ini belum termasuk kebersihan yang diwajibkan terhadap seluruh badan atau pada anggota badan. Kebersihan yang wajib ini dalam Islam dilakukan dengan mandi dan wudhu’.

Pernah juga Nabi melihat seorang yang pakaiannya kotor sekali, maka apa kata Nabi: “Apakah orang ini tidak dapat mendapatkan sesuatu yang dapat dipakai mencuci pakaiannya?” (HR. Abu Daud)

Dan pernah ada seorang laki-laki datang kepada Nabi, pakaiannya sangat menjijikan, maka tanya Nabi kepadanya: “Apakah kamu mempunyai Uang? Orang tersebut menjawab: Ya! Saya punya: Nabi bertanya lagi: Dari mana uang itu? Orang itupun kemudian menjawab: dari setiap harta yang Allah berikan kepadaku. Maka kata Nabi: Kalau Allah memberimu harta, maka sungguh Dia (lebih senang) menyaksikan bekas nikmat-Nya yang diberikan kepadamu dan bekas kedermawanan-Nya itu.” (HR. Nasa’i)

Masalah kebersihan ini lebih ditekankan lagi pada hari-hari berkumpul, misalnya: Pada hari Jum’at dan hari raya. Dalam hal ini Nabi pun pernah bersabda : “Seyogianyalah salah seorang di antara kamu, jika ada rezki, memakai dua pakaian untuk hari Jum’at, selain pakaian kerja.” (HR. Abu Daud)

Pakaian Untuk Berfoya-foya dan Kesombongan

dakwatuna.com – Ketentuan secara umum dalam hubungannya dengan masalah menikmati hal-hal yang baik, yang berupa makanan, minuman ataupun pakaian, yaitu tidak boleh berlebih-lebihan dan untuk kesombongan.

Berlebih-lebihan, yaitu melewati batas ketentuan dalam menikmati yang halal. Dan yang disebut kesombongan, yaitu erat sekali dengan masalah niat, dan hati manusia itu berkait dengan masalah yang zhahir. Dengan demikian apa yang disebut dengan kesombongan itu ialah bermaksud untuk bermegah-megah dan menunjuk-nunjukkan serta menyombongkan diri terhadap orang lain. Padahal Allah sama sekali tidak suka terhadap orang yang sombong.

Allah SWT berfirman :

“Allah tidak suka kepada setiap orang yang angkuh dan sombong.”

(QS. Al-Hadid: 23)

Dan Rasulullah SAW juga bersabda :

“Barang siapa melabuhkan kainnya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya nanti di hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kemudian agar setiap Muslim dapat menjauhkan diri dari hal-hal yang menyebabkan kesombongan, maka Rasulullah SAW melarang untuk berpakaian yang berlebih-lebihan, dimana hal tersebut akan dapat menimbulkan perasaan angkuh, membanggakan diri pada orang lain dengan bentuk-bentuk lahiriah yang kosong itu.

Di dalam Haditsnya, Rasulullah SAW bersabda sebagai berikut:

“Barang siapa memakai pakaian yang berlebih-lebihan, maka Allah akan memberikan pakaian kehinaan nanti di hari kiamat.” (Riwayat Ahmad, Abu Daud, Nasa’i, dan Ibnu Majjah, dengan sanad yang kepercayaan)

Ada seorang laki-laki bertanya kepada Ibnu Umar tentang pakaian apa yang harus dipakainya? Maka jawab Ibnu Umar: Yaitu pakaian yang kiranya kamu tidak akan di hina oleh orang-orang bodoh dan tidak dicela oleh kaum filosofis. (HR. Thabrani)

Menghadapi Detik-Detik Terakhir Kehidupan



oleh Aidh Al-Qarni

Bersiap-siaplah menghadapi detik-detik kematan, yang pasti tiba. Setiap kita pasti mati. Setiap kita pasti akan mengalami sekarat. Kita pasti akan menemui kematian itu. Semua orang – baik raja maupun hamba sahaya, atasan maupun bawahan, kaya ataupun miskin – telah merasakannya. Semua bangsa telah merasakan pendihnya kematian.

Amr Ibn Ash, yang dijuluki ‘Urthubun’ (orang yang amat cerdik) karena begitu cerdiknya, tengah mengalami sekarat. Ia tidak bisa menghindar dari kematian. Kematian melumpuhkan daya orang-orang yang amat cerdik, menguras habis tenaga orang-orang kuat, meluluhlantakkan bangunan si kaya.

Saat sakaratul maut menjelang sang tokoh itu, anaknya, Abdullah, yang ahli zuhud dan ahli ibadah, berbisik kepadanya, “Ayah, gambarkanlah kematian itu kepadaku. Tentu ayah orang yang paling jujur dalam menggambarkannya”, ujar Abdullah.

“Anakku “, ucap Amr ibn Ash. “Demi Allah, rasanya gunung-gunung seperti diimpitkan ke atas dadaku. Aku seakan bernapas melalui lubang jarum”, jawab Amr ibn Ash.

Ibnu Rajab menyebutkan bahwa Umar ra, pernah berkata kepada Ka’ab al-Ahbar, “Coba beri aku gambaran tentang kematian”, ujarnya. “Amirul Mukminin, perumpaan kematian itu tidak lain seperti orang yang dipukul dengan ranting kayu bidara atau kayu thalh (pohon akasia) yang berduri. Kematian ranting tersebut ditarik, bersamaan dengan itu setiap pembuluh darah dibadan pun ikut tertarik”, tambahnya.

Allah Ta’ala berfirman :

فَلَوْلَا إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ ﴿٨٣﴾

وَأَنتُمْ حِينَئِذٍ تَنظُرُونَ ﴿٨٤﴾

وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنكُمْ وَلَكِن لَّا تُبْصِرُونَ ﴿٨٥﴾

فَلَوْلَا إِن كُنتُمْ غَيْرَ مَدِينِينَ ﴿٨٦﴾

تَرْجِعُونَهَا إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ ﴿٨٧﴾

“Maka kalau begitu mengapa (tidak mencegah) ketika (nyawa) telah sampai dikerongkongan, dan kamu ketika itu melihat, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu, tetapi kamu tidak melihat, maka mengapa jika kamu memang tidak dikuasasi (oleh Allah), kamu tidak mengembalikannya (nyawa itu) jika kamu orang yang benar”. (QS : Al-Waqi’ah : 83-87)

Kemudian, Allah Ta'ala :

كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ ﴿٢٦﴾

وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ ﴿٢٧﴾

“Semua yang ada di bumi itu akan binasa, tetapi wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal”. (QS : Ar-Rahman : 26-27)

Hasan al-Basri menasihati anak-anak dan murid-muridnya, “Kematian mengeruhkan kehidupan dunia, sehingga tidak menyisakan secuilpun kegembiraan pada mereka yang punya hati”, cetusnya. “Para pembesuk datang menjenguk orang yang sakit, tetapi mati itu dialami oleh orang yang membesuk dan yang dibesuk”, tambahnya.

Kisah riwayat hidup Ar-Rabi’ bin Khaitsam, ahli zuhud dan ahli ibadah, dikisahkan bahwa suatu kali ia jatuh sakit, lalu orang-orang bertanya, “Tidakkah perlu kami panggil dokter?”, tanyanya. Khaitsam menjawab, “Awalnya saya sudah berpikir untuk memanggil seorang dokter, tetapi dokter dan pasiennya sama-sama akan mati”, ucapnya.

Dari Abu Bakar Ash-Siddiq ra, yang shahih dituturkan bahwa ketika ia sedang sekarat, orang-orang berkumpul di dekatnya. “Wahai Khalifah Rasulullah, tidakkah perlu kami penggilkan seroan tabib?”, tanya mereka. “Sudah. Sudah ada tabib yang datang melihat kondisiku”, jawabnya. “Lalu apa katanya”, tanya mereka. Katanya, “Aku berbuat sekehendak-Ku”, jawab Khalifah.

Kemudian,di dalam kitab Washaayal-Ulama Indal-Maut (Wasiat Para Ulama Menjelang Kematian), disebutkan sebuah riwayat dari Abu Darda’ra, saat ia berjuang menghadapi sakaratul maut, “Adakah orang yang beramal untuk persiapan menghadapi kematian yang amat berat ini? Adakah oran gyang beramal untuk persiapan menghadapi sakitnya kematian? Adakah orang yang beramal untuk persiapan di kala ia terbaring tidak berdaya di atas pembaringan seperti ini?”

وَاتَّقُواْ يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللّهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لاَ يُظْلَمُونَ ﴿٢٨١﴾

“Dan takutlah pada hari (ketika) kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian setiap orang diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang telah dilakukannya, dan mereka tidak dizalimi (dirugikan)”. (QS : Al-Baqarah : 281)

Sungguh kebanyakan, manusia terlena dan mabuk, mereka tidak menyadari tentang akan datangnya kematian, yang pasti menghampiri mereka. Di mana mereka tidak dapat lagi dari kematian yang akan merenggut nyawanya. Tidak ada satupun manusia yang dapat lari dari kematian yang akan tiba itu.

Fiman-Nya :

وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَيُرْسِلُ عَلَيْكُم حَفَظَةً حَتَّىَ إِذَا جَاء أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ تَوَفَّتْهُ رُسُلُنَا وَهُمْ لاَ يُفَرِّطُونَ ﴿٦١﴾

ثُمَّ رُدُّواْ إِلَى اللّهِ مَوْلاَهُمُ الْحَقِّ أَلاَ لَهُ الْحُكْمُ وَهُوَ أَسْرَعُ الْحَاسِبِينَ ﴿٦٢﴾

“Dan Dialah penguasa mutlak atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga, sehingga kematian datang kepada salah seorang diantara kamu, melaikat-malaikat Kami mencabaut nyawanya, dan mereka tidak melalaikan tugasnya. Kemudian mereka (hamba-hamba Allah) dikembalikan kepada Allah, penguasa mereka yang sebenarnya. Ketahuilah bahwa segala hukum (pada hari itu) ada pada-Nya. Dan Dialah pembuat perhitungan yang paling tepat”. (QS : Al-An’am : 61-62)

Pemusnah kenikmatan adalah mati, yang memisahkan kumpulan, merenggut anak-anak. Kematian datang dengan bencana dan petaka, lalu meninggalkan mereka tergeletak dalam kegelapan. Begitulah kematian. Manusia banyak yang melalaikannya. Mereka seakan tak pernah akan menghadapi kematian. Mereka berpesta dengan kehidupannya. saat menjemut maut/al-qalam.