visi

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (QS An Nahl [16]:97).



Thursday, March 31, 2011

Amalan yang Bermanfaat Bagi Mayit

Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”

(QS. An Najm: 39).

Dari ayat ini, sebagian ulama mengatakan bahwa usaha orang lain tidak akan bermanfaat bagi si mayit. Namun pendapat ini adalah pendapat yang kurang tepat. Syaikh As Sa’di mengatakan bahwa ayat ini hanya menunjukkan bahwa manusia tidaklah mendapatkan manfaat kecuali apa yang telah ia usahakan untuk dirinya sendiri. Ini benar dan tidak ada perselisihan di dalamnya. Namun ayat ini tidak menunjukkan bahwa amalan orang lain tidak bermanfaat untuk dirinya yaitu ketika orang melakukan amalan untuknya. Sebagaimana pula seseorang memiliki harta yang ia kuasai saat ini. Hal ini tidak melazimkan bahwa dia tidak bisa mendapatkan harta dari orang lain melalui hadiah yang nanti akan jadi miliknya.[1]

Jadi sebenarnya, amalan orang lain tetap bermanfaat bagi orang yang sudah meninggal sebagaimana ditunjukkan pada dalil-dalil yang akan kami bawakan, seperti amalan puasa dan pelunasan utang.

Namun perlu diperhatikan di sini, amalan yang bisa bermanfaat bagi si mayit itu juga harus ditunjukkan dengan dalil dan tidak bisa dikarang-karang sendiri. Jadi tidak boleh seseorang mengatakan bahwa amalan A atau amalan B bisa bermanfaat bagi si mayit, kecuali jika jelas ada dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah yang menunjukkan hal tersebut.

Amalan-amalan yang bisa bermanfaat bagi si mayit adalah sebagai berikut.

Pertama: Do’a kaum muslimin bagi si mayit

Setiap do’a kaum muslimin bagi setiap muslim akan bermanfaat bagi si mayit. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang“.” (QS. Al Hasyr: 10) Ayat ini menunjukkan bahwa di antara bentuk kemanfaatan yang dapat diberikan oleh orang yang masih hidup kepada orang yang sudah meninggal dunia adalah do’a karena ayat ini mencakup umum, yaitu orang yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal dunia.

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengatakan, “Do’a dalam ayat ini mencakup semua kaum mukminin, baik para sahabat yang terdahulu dan orang-orang sesudah mereka. Inilah yang menunjukkan keutamaan iman, yaitu setiap mukmin diharapkan dapat memberi manfaat satu dan lainnya dan dapat saling mendoakan.”[2]

Begitu pula sebagai dalil dalam hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ

“Do’a seorang muslim kepada saudaranya di saat saudaranya tidak mengetahuinya adalah do’a yang mustajab (terkabulkan). Di sisi orang yang akan mendo’akan saudaranya ini ada malaikat yang bertugas mengaminkan do’anya. Tatkala dia mendo’akan saudaranya dengan kebaikan, malaikat tersebut akan berkata: “Amin. Engkau akan mendapatkan semisal dengan saudaramu tadi”.”[3] Do’a kepada saudara kita yang sudah meninggal dunia adalah di antara do’a kepada orang yang di kala ia tidak mengetahuinya.

Kedua: Siapa saja yang melunasi utang si mayit

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangkan seorang mayit yang masih memiliki utang, kemudian beliau bertanya, “Apakah orang ini memiliki uang untuk melunasi hutangnya?” Jika diberitahu bahwa dia bisa melunasinya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menyolatkannya. Namun jika tidak, maka beliau pun memerintahkan, “Kalian shalatkan aja orang ini.”

Tatkala Allah memenangkan bagi beliau beberapa peperangan, beliau bersabda,

أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ فَمَنْ تُوُفِّىَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَعَلَىَّ قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَالاً فَهُوَ لِوَرَثَتِهِ

“Aku lebih pantas bagi orang-orang beriman dari diri mereka sendiri. Barangsiapa yang mati, namun masih meninggalkan utang, maka aku lah yang akan melunasinya. Sedangkan barangsiapa yang mati dan meninggalkan harta, maka itu untuk ahli warisnya.”[4] Hadits ini menunjukkan bahwa pelunasan utang si mayit dapat bermanfaat bagi dirinya.

Sedangkan apakah pelunasan utang si mayit di sini wajib ataukah tidak, di sini ada dua pendapat di kalangan ulama Syafi’iyyah. Sebagian ulama mengatakan bahwa wajib dilunasi dari baitul maal. Sebagian lagi mengatakan tidak wajib.[5]

Ketiga: Menunaikan qodho’ puasa si mayit

Pembahasan ini telah kami jelaskan pada tulisan kami yang berjudul “Permasalahan Qodho’ Ramadhan”. Pendapat yang mengatakan bahwa qodho’ puasa bermanfaat bagi si mayit dipilih oleh Abu Tsaur, Imam Ahmad, Imam Asy Syafi’i, pendapat yang dipilih oleh An Nawawi, pendapat pakar hadits dan pendapat Ibnu Hazm.

Dalil dari pendapat ini adalah hadits ‘Aisyah,

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang nanti akan mempuasakannya. ”[6] Yang dimaksud “waliyyuhu” adalah ahli waris[7].

Keempat: Menunaikan qodho’ nadzar baik berupa puasa atau amalan lainnya

Sa’ad bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu pernah meminta nasehat pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia mengatakan,

إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا نَذْرٌ

“Sesungguhnya ibuku telah meninggalkan dunia namun dia memiliki nadzar (yang belum ditunaikan).” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan,

اقْضِهِ عَنْهَا

Tunaikanlah nadzar ibumu.”[8]

Kelima: Segala amalan sholih yang dilakukan oleh anak yang sholih akan bermanfaat bagi orang tuanya yang sudah meninggal dunia

Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى

Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An Najm: 39). Di antara yang diusahakan oleh manusia adalah anak yang sholih.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ

“Sesungguhnya yang paling baik dari makanan seseorang adalah hasil jerih payahnya sendiri. Dan anak merupakan hasil jerih payah orang tua.”[9] Ini berarti amalan dari anaknya yang sholih masih tetap bermanfaat bagi orang tuanya walaupun sudah berada di liang lahat karena anak adalah hasil jerih payah orang tua yang pantas mereka nikmati.

Namun sayang, orang tua saat ini melupakan modal yang satu ini. Mereka lebih ingin anaknya menjadi seorang penyanyi atau musisi –sehingga dari kecil sudah dididik les macam-macam-, dibanding anaknya menjadi seorang da’i atau orang yang dapat memberikan manfaat pada umat dalam masalah agama. Sehingga orang tua pun lupa dan lalai mendidik anaknya untuk mempelajari Iqro’ dan Al Qur’an. Sungguh amat merugi jika orang tua menyia-nyiakan anaknya padahal anak sholih adalah modal utama untuk mendapatkan aliran pahala walaupun sudah di liang lahat.

Keenam: Bekas-bekas amalan sholih (seperti ilmu yang bermanfaat) dan sedekah jariyah yang ditinggalkan oleh si mayit

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika manusia itu mati, maka akan putus amalannya kecuali dari tiga perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang diambil manfaatnya, [3] anak sholih yang mendo’akan orang tuanya.”[10]

Ketujuh: Sedekah atas nama si mayit

Sedekah untuk mayit akan bermanfaat baginya berdasarkan kesepakatan (ijma’) kaum muslimin.[11] Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ – رضى الله عنه – تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهْوَ غَائِبٌ عَنْهَا ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا ، أَيَنْفَعُهَا شَىْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ » . قَالَ فَإِنِّى أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِى الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا

“Sesungguhnya Ibu dari Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia, sedangkan Sa’ad pada saat itu tidak berada di sampingnya. Kemudian Sa’ad mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal, sedangkan aku pada saat itu tidak berada di sampingnya. Apakah bermanfaat jika aku menyedekahkan sesuatu untuknya?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Iya, bermanfaat.’ Kemudian Sa’ad mengatakan pada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Kalau begitu aku bersaksi padamu bahwa kebun yang siap berbuah ini aku sedekahkan untuknya’.”[12]

Hukum Menghadiahkan Pahala Bacaan Al Qur’an untuk Si Mayit

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanyakan, “Bagaimana dengan orang yang membaca Al Qur’an Al ‘Azhim atau sebagian Al Qur’an, apakah lebih utama dia menghadiahkan pahala bacaan kepada kedua orang tuanya dan kaum muslimin yang sudah mati, ataukah lebih baik pahala tersebut untuk dirinya sendiri?”

Beliau rahimahullah menjawab:

Sebaik-baik ibadah adalah ibadah yang mencocoki petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan dalam khutbahnya,

خَيْرُ الْكَلَامِ كَلَامُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

”Sebaik-baik perkataan adalah kalamullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan. Setiap bid’ah adalah sesat.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

خَيْرُ الْقُرُونِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

“Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi setelah mereka.”

Ibnu Mas’ud mengatakan,

مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُسْتَنًّا فَلْيَسْتَنَّ بِمَنْ قَدْ مَاتَ ؛ فَإِنَّ الْحَيَّ لَا تُؤْمَنُ عَلَيْهِ الْفِتْنَةُ أُولَئِكَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ

“Siapa saja di antara kalian yang ingin mengikuti petunjuk, maka ambillah petunjuk dari orang-orang yang sudah mati. Karena orang yang masih hidup tidaklah aman dari fitnah. Mereka yang harus diikuti adalah para sahabat Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.”

Jika kita sudah mengenal beberapa landasan di atas, maka perkara yang telah ma’ruf di tengah-tengah kaum muslimin generasi utama umat ini (yaitu di masa para sahabat dan tabi’in, pen) bahwasanya mereka beribadah kepada Allah hanya dengan ibadah yang disyari’atkan, baik dalam ibadah yang wajib maupun sunnah; baik amalan shalat, puasa, atau membaca Al Qur’an, berdzikir dan amalan lainnya. Mereka pun selalu mendoakan mukminin dan mukminat yang masih hidup atau yang telah mati dalam shalat jenazah, ziarah kubur dan yang lainnya sebagaimana hal ini diperintahkan oleh Allah. Telah diriwayatkan pula dari sekelompok ulama salaf mengenai setiap penutup sesuatu ada do’a yang mustajab. Apabila seseorang di setiap ujung penutup mendoakan dirinya, kedua orang tuanya, guru-gurunya, dan kaum mukminin-mukminat yang lainnya, ini adalah ajaran yang disyari’atkan. Begitu pula doa mereka ketika shalat malam dan tempat-tempat mustajab lainnya.

Terdapat hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sedekah pada mayit dan memerintahkan pula untuk menunaikan utang puasa si mayit. Jadi, sedekah untuk mayit merupakan amal sholeh. Begitu pula terdapat ajaran dalam agama ini untuk menunaikan utang puasa si mayit.

Oleh karena itu, sebagian ulama membolehkan mengirimkan pahala ibadah maliyah (yang terdapat pengorbanan harta, semacam sedekah) dan ibadah badaniyah kepada kaum muslimin yang sudah mati. Sebagaimana hal ini adalah pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah dan Syafi’iyah. Jika mereka menghadiahkan pahala puasa, shalat atau pahala bacaan Qur’an maka ini diperbolehkan menurut mereka. Namun, mayoritas ulama Malikiyah dan Syafi’iyah mengatakan bahwa yang disyari’atkan dalam masalah ini hanyalah untuk ibadah maliyah saja.

Oleh karena itu, tidak kita temui pada kebiasaan para ulama salaf, jika mereka melakukan shalat, puasa, haji, atau membaca Al Qur’an; mereka menghadiahkan pahala amalan mereka kepada kaum muslimin yang sudah mati atau kepada orang-orang yang istimewa dari kaum muslimin. Bahkan kebiasaan dari salaf adalah melakukan amalan yang disyari’atkan yang telah disebutkan di atas. Oleh karena itu, setiap orang tidak boleh melampaui jalan hidup para salaf karena mereka tentu lebih utama dan lebih sempurna dalam beramal. Wallahu a’lam.” –Demikian penjelasan Syaikhull Islam Ibnu Taimiyah-[13]

Catatan: Yang dimaksudkan kirim pahala dari amalan badaniyah ataupun maliyah sebagaimana yang dibolehkan oleh sebagian ulama bukanlah dengan mengumpulkan orang-orang lalu membacakan surat tertentu secara berjama’ah dan ditentukan pula pada hari tertentu (semisal hari ke-7, 40, 100, dst). Jadi tidaklah demikian yang dimaksudkan oleh para ulama tersebut. Apalagi kalau acara tersebut diadakan di kediaman si mayit, ini jelas suatu yang terlarang karena ini termasuk acara ma’tam (kumpul-kumpul) yang dilarang. Seharusnya keluarga mayit dihibur dengan diberi makan dan segala keperluan karena mereka saat itu dalam keadaan susah, bukan malah keluarga mayit yang repot-repot menyediakan makanan untuk acara semacam ini. Lihat penjelasan selanjutnya.

Apakah Mayit Mendengarkan Bacaan Al Qur’an?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Jika ada yang mengatakan bahwa bermanfaat bagi si mayit ketika dia diperdengarkan Al Qur’an dan dia akan mendapatkan pahala jika mendengarnya, maka pemahaman seperti ini sungguh keliru. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah bersabda,

إذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إلَّا مِنْ ثَلَاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika manusia itu mati, amalannya akan terputus kecuali melalui tiga perkara: [1] sedekah jariyah, [2] ilmu yang dimanfaatkan, atau [3] anak sholeh yang mendo’akan dirinya. ”

Oleh karena itu, setelah kematian si mayit tidak akan mendapatkan pahala melalui bacaan Al Qur’an yang dia dengar dan amalan lainnya. Walaupun memang si mayit mendengar suara sandal orang lain dan juga mendengar salam orang yang mengucapkan salam padanya dan mendengar suara selainnya. Namun ingat, amalan orang lain (seperti amalan membaca Al Qur’an, pen) tidak akan berpengaruh padanya.”[14]

Seharusnya Keluarga Si Mayit yang Diberi Makan

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Apabila keluarga mayit membuatkan makanan lalu mengundang orang-orang, maka ini bukanlah sesuatu yang disyari’atkan. Semacam ini termasuk ajaran yang tidak ada tuntunannya (baca: bid’ah). Bahkan Jarir bin ‘Abdillah mengatakan,

كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَتَهُمْ الطَّعَامَ لِلنَّاسِ مِنْ النِّيَاحَةِ

“Kami menganggap bahwa berkumpul-kumpul di kediaman si mayit, lalu keluarga si mayit membuatkan makanan, ini termasuk niyahah (meratapi mayit yang jelas terlarang).”

Bahkan yang dianjurkan ketika si mayit meninggal dunia adalah orang lain yang memberikan makanan pada keluarga si mayit (bukan sebaliknya). Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendengar berita kematian Ja’far bin Abi Thalib, beliau mengatakan,

اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ

Berilah makan untuk keluarga Ja’far karena mereka saat ini begitu tersibukkan dengan kematian Ja’far.”[15]

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz –pernah menjawab sebagai ketua Al Lajnah Ad Daimah di Saudi Arabia- mengatakan, “Seharusnya yang dilakukan adalah melakukan ta’ziyah di rumah si mayit dan mendoakan mereka serta memberikan kasih sayang kepada mereka yang ditinggalkan si mayit. [Ta’ziyah memberi nasehat kepada keluarga si mayit untuk bersabar dalam musibah ini dan berusaha menghibur mereka, pen]

Adapun berkumpul-kumpul untuk menambah kesedihan (dikenal dengan istilah ma’tam) dengan membaca bacaan-bacaan tertentu (seperti membaca surat yasin ataupun bacaan tahlil), atau membaca do’a-do’a tertentu atau selainnya, ini termasuk bid’ah. Seandainya perkara ini termasuk kebaikan, tentu para sahabat (salafush sholeh) akan mendahului kita untuk melakukan hal semacam ini.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak pernah melakukan hal ini. Dulu di antara salaf yaitu Ja’far bin Abi Tholib, Abdullah bin Rowahah, Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhum, mereka semua terbunuh di medan perang. Kemudian berita mengenai kematian mereka sampai ke telinga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari wahyu. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumumkan kematian mereka pada para sahabat, para sahabat pun mendoakan mereka, namun mereka sama sekali tidak melakukan ma’tam (berkumpul-kumpul dalam rangka kesedihan dengan membaca Al Qur’an atau wirid tertentu).

Begitu pula para sahabat dahulu tidak pernah melakukan hal semacam ini. Ketika Abu Bakr meninggal dunia, para sahabat sama sekali tidak melakukan ma’tam.”[16]

Demikian pembahasan kami mengenai berbagai amalan yang dapat bermanfaat bagi si mayit. Semoga bermanfaat bagi kaum muslimin. Hanya Allah yang memberi taufik.

Segala puji bagi Allah yang dengan segala nikmat-Nya setiap kebaikan menjadi sempurna. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti beliau hingga akhir zaman.

***

Disusun di Pangukan, Sleman, Kamis, 3 Dzulqo’dah 1430 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id

________________________________________

[1] Lihat Taisir Karimir Rahman, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal. 821, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H

[2] Taisir Al Karimir Rahman fi Tafsir Kalamil Mannan, hal. 851.

[3] HR. Muslim no. 2733, dari Ummu Ad Darda’.

[4] HR. Bukhari no. 2298 dan Muslim no. 1619

[5] Syarh Muslim, An Nawawi, 6/2, Mawqi’ Al Islam

[6] HR. Bukhari no. 1952 dan Muslim no. 1147

[7] Lihat Tawdhihul Ahkam, 3/525

[8] HR. Bukhari no. 2761 dan Muslim no. 1638

[9] HR. Abu Daud no. 3528 dan An Nasa-i no. 4451. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[10] HR. Muslim no. 1631

[11] Majmu’ Al Fatawa, 24/314, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H

[12] HR. Bukhari no. 2756

[13] Majmu’ Al Fatawa, 24/321-323.

[14] Majmu’ Al Fatawa, 24/317.

[15] Majmu’ Al Fatawa, 24/316-317.

[16] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 13/211, Asy Syamilah



MANHAJ AHLI SUNNAH TERHADAP PENGUASA

Oleh:
Ustadz Abu Ahmad Zainal Abidin


TUGAS NEGARA DAN PENGUASA DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Islam merupakan agama dari Allah yang mengatur seluruh aspek
kehidupan, baik pribadi maupun masyarakat, lahir maupun batin, dan
bahkan untuk kepentingan di dunia dan akhirat. Maka sistim politik
Islam, khususnya tentang kepemimpinan, merupakan amanat dari Allah
untuk melaksanakan aturan, undang-undang dan syari’at Islam.

Jadi kepemimpinan dalam Islam merupakan bentuk aktifitas politik, yang
bertujuan untuk menegakkan aturan Allah di muka bumi. Oleh karena itu,
pemimpin yang dipilih semata-mata hanya bertugas untuk menegakkan
syari’at dan menerapkan hukum Allah, sehingga negara dan rakyat meraih
kedamaian, penguasa dan rakyat memperoleh hak-hak secara adil, serta
kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kondisi yang tenteram dan
makmur.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan: Tujuan pokok kepemimpinan,
ialah memperbaiki agama umat. Sebab, jika jauh dari Dinul Islam,
(maka) bangsa akan hancur, nasib rakyat akan terlantar dan
nikmat-nikmat dunia yang mereka miliki akan sia-sia. Pemimpin juga
bertugas memperbaiki segi duniawi yang sangat erat hubungannya dengan
agama, meliputi dua macam:

Pertama, membagikan harta kekayaan secara merata dan adil kepada yang
berhak.

Kedua, menghukum orang-orang yang melanggar ketentuan
undang-undang tanpa diskriminasi.

Prof. Dr. Salim bin Ghanim As Sadlan berkata,”Salah satu kewajiban dan
wewenang pemimpin dalam agama Islam, yaitu melaksanakan hukuman
setelah diproses secara syar’i oleh mahkamah agung atas terdakwa
pelaku kejahatan yang berhak mendapat hukuman.”

DEKAT DENGAN PENGUASA BUKAN BERARTI MENJILAT

Seorang muslim harus melakukan hubungan baik dengan para Ulil Amri,
baik dari kalangan pemimpin, para hakim penanggung jawab peradilan
ataupun tokoh-tokoh lembaga-lembaga penting dan kepala-kepala
penanggung jawab pemerintah. Kita tidak boleh merasa kaku serta
menganggap, bila dekat dengan penguasa akan menodai kehormatan diri
dalam beragama. Bukan pula berarti menjadi penjilat dan kacung bagi
para penguasa, bahkan syari’at memerintahkan kita untuk menjalin
hubungan erat dengan para Ulil Amri atau penguasa.

Sesungguhnya, salah satu yang menjadi penyebbab keberhasilan shahwah
(kebangkitan Islam) dan dakwah kepada Allah, yaitu apabila da’wah
memiliki dukungan dari penguasa dalam suatu negara. Karena, da’wah dan
kekuasaan merupakan dua pilar perbaikan terhadap umat. Penyair
berkata:

الْمُــــلْكُ بِالدِّيْنِ يَبْقَى وَالدِّيْنُ بِالْمُلْكِ يَقْوَى

Kekuasaan yang bersanding dengan agama akan menjadi stabil, dan agama
yang bersanding dengan kekuasaan akan menjadi kuat dan kokoh.

Bila keduanya bertemu dan bersatu, maka tujuan dan sasaran da’wah
tercapai. Cita-cita membangun umat akan teralisasi dengan izin Allah.
Namun, jika keduanya berpisah, apalagi saling berhadapan, maka segala
usaha akan sia-sia atau melemah sampai pada batas kehinaan, sehingga
muncul berbagai fitnah dan musibah bagi umat.

Setiap negara yang menginginkan kemuliaan hakiki dan kekuasaan di muka
bumi, memiliki kewajiban untuk mendukung da’wah kepada Allah,
mengerahkan segala perangkat kekuasaan dan pilar kekuatan negara yang
mampu memberikan peringatan dan bimbingan secara persuasif kepada
seluruh rakyat. Dengan demikian, penguasa akan mendapatkan legitimasi
dan dukungan penuh dari semua pihak. Sebab, seringkali Allah
menyadarkan lewat peguasa, apa yang tidak tergugah dengan Al Qur’an.
Karena, bila keimanan telah melemah dalam hati manusia, maka kekuatan
penguasa jauh lebih dapat menakut-nakuti mereka dari maksiat, dan
lebih meluruskan mereka kepada ibadah, hingga mereka dapat meraih
istiqamah dan keshalihan dalam hidup.


MENASIHATI PENGUASA BUKAN MEMBANGKANG

Islam memiliki etika tersendiri dalam menasihati pemimpin, bahkan
mempunyai kaidah-kaidah dasar yang tidak boleh dilecehkan; sebab,
pemimpin tidak sama dengan rakyat. Apabila menasihati kaum muslimin,
secara umum memerlukan kaidah dan etika, maka menasihati para pemimpin
lebih perlu memperhatikan kaidah dan etikanya.

Dari Ibnu Hakam meriwayatkan, bahwa Nabi bersabda,”Barangsiapa yang
ingin menasihati pemimpin, maka jangan melakukannya secara
terang-terangan. Akan tetapi, nasihatilah dia di tempat yang sepi.
Jika menerima nasihat, itu sangat baik. Dan bila tidak menerimanya,
maka kamu telah menyampaikan kewajiban nasihat kepadanya.” [HR Imam
Ahmad].

Sangat tidak bijaksana mengoreksi dan mengkritik kekeliruan para
pemimpin melalui mimbar-mimbar terbuka, tempat-tempat umum ataupun
media massa, baik elektronik maupun cetak. Yang demikian itu
menimbulkan banyak fitnah. Bahkan terkadang disertai dengan hujatan
dan cacian kepada orang per orang. Seharusnya, menasihati para
pemimpin dengan cara lemah lembut dan di tempat rahasia, sebagaimana
yang dilakukan oleh Usamah bin Zaid tatkala menasihati Utsman bin
Affan, bukan dengan cara mencaci-maki mereka di tempat umum atau
mimbar.

Imam Ibnu Hajar berkata, bahwa Usamah telah menasihati Utsman bin
Affan dengan cara yang sangat bijaksana dan beretika tanpa menimbulkan
fitnah dan keresahan.

Imam Syafi’i berkata,”Barangsiapa yang menasihati temannya dengan
rahasia, maka ia telah menasihati dan menghiasinya. Dan barangsiapa
yang menasihatinya dengan terang-terangan, maka ia telah mempermalukan
dan merusaknya.”

Imam Fudhail bin Iyadh berkata,”Orang mukmin menasihati dengan cara
rahasia; dan orang jahat menasihati dengan cara melecehkan dan
memaki-maki.”

Syaikh bin Baz berkata,”Menasihati para pemimpin dengan cara
terang-terangan melalui mimbar-mimbar atau tempat-tempat umum, bukan
(merupakan) cara atau manhaj Salaf. Sebab, hal itu akan mengakibatkan
keresahan dan menjatuhkan martabat para pemimpin. Akan tetapi, (cara)
manhaj Salaf dalam menasihati pemimpin yaitu dengan mendatanginya,
mengirim surat atau menyuruh salah seorang ulama yang dikenal untuk
menyampaikan nasihat tersebut.”

MEMBUAT KEKACAUAN BERKEDOK JIHAD DAN AMAR MA’RUF

Dakwah kepada agama Allah merupakan tugas utama para rasul dan imam
agama. Dan pada zaman sekarang, hukumnya bisa wajib bagi setiap
individu sesuai kemampuan masing-masing. Allah berfirman, yang
artinya: Serulah manusia kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik. [An Nahl:125].

Adapun memecah-belah kaum muslimin menjadi berkelompok–kelompok,
sehingga masing-masing mengklaim kelompoknyalah yang benar, sementara
yang lain sesat -sebagaimana realita sekarang ini- jelas bukan
merupakan manhaj dakwah yang benar. Setiap orang yang memiliki ilmu
dan kemampuan yang cukup, wajib berdakwah kepada agama Allah atas
dasar ilmu, walaupun hanya seorang diri. Antara yang satu dengan yang
lain, hendaklah berkerja sama berlandaskan manhaj yang satu, yaitu
manhaj yang ditempuh Rasulullah dan para sahabat.

Dakwah merupakan cara dan proses Islami dalam membimbing umat manusia
menuju perubahan hidup yang hakiki, penuh dengan kesadaran serta
merupakan bentuk sentuhan lembut yang mengetuk hati nurani, sehingga
bangkit dan memiliki kemauan untuk berbuat kebaikan, meninggalkan
berbagai macam pelanggaran.

Anggapan, bahwa praktek-praktek agitasi, kampanye, pengungkapan aib
penguasa dan pengerahan massa untuk menekan penguasa sebagai metode
yang berhasil dan bermanfaat, adalah anggapan yang keliru, jauh dari
kebenaran dan menyalahi nash-nash syar’i. Kalau kita tengok penjelasan
para ulama, seperti yang tertuang dalam buku Asy Syari’ah karya Al
Ajurri, As Siayasah Asy Syar’iyah Ibnu Taimiyah dan buku Ath Thuruqul
Hukmiyah Fis Siyasah Asy Syar’iyah karya Ibnu Qayyim, maka cara-cara
seperti di atas sangat keliru dan sesat.

Asumsi, bahwa cara-cara seperti ceramah-cermah yang transparan,
membukakan kebobrokan penguasa kepada masyarakat luas dan memprovokasi
mereka untuk melawan penguasa sebagai cara yang efisien dan berguna,
merupakan asumsi yang salah dan sangat jauh dari kebenaran, serta
bertentangan dengan nash agama. Bahkan, semacam merupakan bentuk
justifikasi terhadap aqidah dan pemikiran Khawarij.

BEKAL BAGI ORANG YANG MENASIHATI PEMIMPIN

Bagi setiap individu yang ingin memberikan nasihat kepada pemimpin,
maka ia harus memperhatikan hal-hal berikut:

Pertama : Ikhlas dalam memberi nasihat.

Nabi Muhammad bersabda kepada Abdullah bin Amr: “Wahai, Abdullah bin
Amr. Jika engkau berperang dengan sabar dan ikhlas, maka Allah akan
membangkitkanmu sebagai orang yang sabar dan ikhlas. Dan jika engkau
berperang karena riya, maka Allah akan membangkitkanmu sebagai orang
riya dan orang yang ingin dipuji” . [HR Abu Dawud].

Imam Ibnu Nahhas berkata,”Orang yang menasihati pemimpin atau
penguasa, hendaknya mendahulukan sikap ikhlas untuk mencari ridha
Allah. Barangsiapa yang mendekati pemimpin untuk mencari popularitas
atau jabatan atau sanjungan, maka ia telah berbuat kesalahan yang
besar dan melakukan perbuatan sia-sia.”

Kedua : Menjauhi segala macam ambisi pribadi.

Seseorang yang menasihati sebaiknya menanggalkan segala ambisi dan
keinginan pribadi untuk mendapatkan sesuatu dari pemimpin atau
penguasa. Para ulama salaf telah banyak memberikan contoh dan suri
tauladan, seperti Sufyan Ats Atsauri. Beliau sering menolak pemberian
para penguasa, karena khawatir pemberian tersebut menghalanginya untuk
mengingkari kemungkaran.

Tiga : Mendahulukan sikap kejujuran dan kebenaran.


Seorang yang ingin menasihati pemimpin atau penguasa, hendaknya
bersikap jujur dan pemberani; sebagaimana sabda Nabi,”Jihad yang
paling utama adalah menyampaikan kebenaran kepada pemimpin yang
zhalim.” [HR Abu Dawud]

Keempat : Berdo’a kepada Allah dengan do’a-do’a yang ma’tsur.


Dari Ibnu Abbas, beliau berkata,”Jika kamu mendatangi penguasa yang
kejam, maka berdo’alah:

Allah Maha Besar, Allah Maha Tinggi, dari semua makhlukNya, Allah Maha
Tinggi dari semua yang saya takutkan dan khawatirkan. Saya berlindung
kepada Allah yang tiada Sesembahan yang haq selainNya, Dialah yang
menahan langit yang tujuh sehingga tidak jatuh ke bumi dengan izinNya,
(dari) kejahatan hambaMu dan para pengikutnya, bala tentaranya dan
para pendukungnya, baik dari jin atau manusia. Ya Allah, jadilah
Engkau pendampingku dari kejahatan mereka, Maha Tinggi kekuasaan Allah
dan Maha Agung serta Maha Berkah NamaNya, tiada Sesembahan yang berhaq
disembah selain Engkau.” (Dibaca tiga kali). [HR Ibnu Abu Syaibah].

MENYEBUT PENGUASA DENGAN VONIS KAFIR

Pada masa sekarang timbul berbagai macam penyimpangan manhaj dan
fitnah pemikiran, terutama dalam soal sikap kepada para penguasa yang
zhalim dan tidak berhukum dengan hukum Allah. Sebagian orang yang gila
popularitas dan ambisius, dengan gampang menebarkan pemikiran takfir
(mengkafirkan) kepada para penguasa, para pemuda dan orang awam; dan
dengan mengesampingkan manhaj Ahli Sunnah serta fatwa para ulama.
Mereka kurang menyadari dampak dan akibat dari langkah yang mereka
tempuh, sehingga keinginan mengajak umat manusia kepada kebaikan
berbalik menjadi musibah dan fitnah yang mendatangkan banyak keburukan
dan kesesatan. Mereka bersikap kerdil, picik, pengecut, emosional,
keras kepala dan tidak kenal kompromi, kurang mempertimbangkan antara
maslahat dan madharat.

Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan dalam kitab Muntaqa
berkata,”Masalah pengkafiran terhadap orang per orang, terutama kepada
para penguasa sangat berbahaya. Tidak semua orang boleh mengucapkan
atas orang lain. Masalah ini merupakan wewenang hakim syar’i dan ahli
ilmu yang mumpuni, yang mengetahui Dinul Islam dan
pembatal-pembatalnya mengetahui situasi dan kondisi, serta keadaan
manusia dan masyarakat. Merekalah yang berhak menjatuhkan vonis kafir.
Adapun orang jahil, orang awam, pemula dalam menuntut ilmu, tidaklah
berhak menjatuhkan vonis kafir.”

Syaikh Shalih bin Ghanim As Sadlan menegaskan, bahwa masalah
pengkafiran terhadap orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah,
membutuhkan penjelasan secara rinci. Tidak boleh menjatuhkan hukum
kafir atas penguasa atau hakim yang tidak berhukum dengan hukum Allah
secara mutlak, sehingga mengetahui keadaan dan kondisinya dalam
masalah ini.

Perlu diketahui, bahwa berhukum dengan hukum selain hukum Allah ada
dua sebab.
Pertama. Menghalalkan hukum selain Allah dan meyakini,
bahwa syari’at Islam tidak layak diterapkan selamanya. Kedua.
Meyakini, bahwa syari’at Islam layak diterapkan dan sudah sempurna,
namun keputusan terakhir bukan di tangannya dan bukan pula di bawah
kuasa seseorang.

Mengenai firman Allah “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa
yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”.
[Al Maidah: 44].

Apakah dalam ayat di atas terdapat perintah untuk membangkang dan
memberontak penguasa? Karena memberontak dan membangkang kepada
penguasa yang divonis kafir -bila tidak memiliki kekuatan yang
berimbang- justru akan membahayakan kelangsungan dakwah dan
keselamatan para da’i.

BERSABAR TERHADAP PEMIMPIN YANG ZHALIM

Pemimpin yang zhalim dan jahat, adalah sosok pemimpin yang hanya
berambisi terhadap kekuasaan belaka. Perbuatan mereka tidak pernah
sepi dari penganiayaan dan kezhaliman, dan tidak segan-segan melibas
siapapun yang mencoba menggoyang kekuasaannya, meskipun dia melanggar
syari’at. Dia juga tidak adil dalam memberikan hak-hak umat serta
boros terhadap harta negara.

Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab rusaknya para pemimpin.

1. Lemahnya pengamalan prinsip agama.
2. Senang mengikuti hawa nafsu dan kesenangan dunia belaka.
3. Sikap kolusi dan nepotisme yang berlebihan.
4. Teman dan penasihat (orang kepercayaannya) yang tidak baik, atau
menjadikan orang-orang kafir sebagai pembantu (kepercayaannya).
5. Menyerahkan kekuasaan dan jabatan kepada orang-orang yang tidak
berjiwa patriot dan ikhlas.
6. Diktator dalam mengendalikan kekuasaan.
7. Tekanan internasional terhadap para pemimpin Islam.
8. Terpengaruh dengan sisitim negara-negara kafir dan meninggalkan sistim Islam.

Barangsiapa yang tidak memiliki kemampuan untuk menasihati pemimpin
yang zhalim, maka sebaiknya berdiam diri dan bersabar, sebagaimana
sabda Rasulullah,”Barangsiapa yang mendapatkan dari pemimpin(nya)
sesuatu yang tidak menyenangkan, maka hendaklah bersabar. (Karena)
sesungguhnya, barangsiapa yang keluar dari pemimpin, maka meninggal
dalam keadaan jahiliyah.” [HR Al Bukhari].

Abdullah Ibnu Abbas berkata,”Pemimpin adalah ujian bagi kalian.
Apabila mereka bersikap adil, maka dia mendapatkan pahala dan kamu
harus bersyukur. Dan apabila dia zhalim, maka dia mendapatkan siksa
dan kamu harus bersabar.”

Imam Nawawi berkata,”Barangsiapa yang mendiamkan kemungkaran seorang
pemimpin, tidaklah dia berdosa, kecuali (jika) dia menunjukan sikap
rela, setuju atau mengikuti kemungkaran itu.”

BATASAN HUBUNGAN ANTARA PEMIMPIN DENGAN RAKYAT

Syaikh Abdul Aziz bin Baz t menjelaskan kepada Majalah Syarq Al Ausath
seputar manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam masalah amar ma’ruf nahi
munkar, metodologi menyampaikan nasihat, serta batasan-batasan
hubungan secara syar’i antara penguasa dengan rakyat. Ulasan dan
penjelasan beliau dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. Beliau menjelaskan batasan-batasan hubungan antara penguasa dengan
rakyat menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang wajib ditempuh seluruh
umat sekarang ini.

2. Beliau juga mengajak kaum muslimin mengikuti manhaj Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah dan tidak mencontoh faham Khawarij maupun Mu’tazilah.
Beliau berkata,”Mereka semestinya mengikuti madzhab Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah sesuai dengan dalil-dalil syar’i yang ada. Mereka semestinya
memegang teguh nash-nash Al Qur’an dan As Sunnah sebagaimana adanya.
Mereka tidak diperkenankan memberontak kepada penguasa, hanya karena
penguasa itu jatuh dalam perbuatan maksiat. Mereka semestinya
menasihati penguasa dan berdakwah dengan cara yang penuh hikmah, serta
dengan pengajaran yang baik.

3. Beliau menjelaskan, bahwa kaum muslimin wajib mentaati waliyul amri
dalam perkara-perkara yang ma’ruf. Berdasarkan firman Allah, yang
artinya: Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan ta’atilah dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan
Rasul (Sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu adalah lebih baik akibatnya. [An
Nisa’:59].

4. Jika penguasa memerintahkan kepada perkara yang munkar, maka tidak
wajib dipatuhi, namun tidak berarti dibolehkan memberontak mereka,
sebab Rasulullah bersada:

مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ
فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ إِلَّا مَاتَ
مِيتَةً جَاهِلِيَّةً.

Barangsiapa melihat sebuah perkara yang membuat ia benci pada
pemimpinya, maka hendaknya ia bersabar dan janganlah ia membangkang
kepada pemimpinnya. Sebab, barangsiapa melepaskan diri dari jama’ah,
lalu mati, maka ia mati secara jahiliyah. [HR Bukhari dan Muslim]

Sabda beliau:

السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ

وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ

فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ

Seorang muslim wajib patuh dan taat (kepada umara) ketika lapang
maupun sempit pada perkara yang disukainya ataupun yang dibencinya,
selama tidak diperintah berbuat maksiat. Jika diperintah berbuat
maksiat, maka tidak boleh patuh dan taat. [HR Bukhari dan Muslim].

5. Tidak boleh memberontak kepada penguasa kecuali dengan dua syarat.
Pertama, telah tampak kekafiran secara nyata pada penguasa itu, dan
memiliki keterangan yang jelas (tentang kekafirannya itu) dari Allah
(Al Qur’an) dan As Sunnah.
Kedua, memiliki kemampuan untuk
menggantikan penguasa tersebut, tanpa harus merugikan rakyat banyak.

6. Jika tidak memiliki kemampuan, maka tidak boleh memberontak,
meskipun telah terlihat kekafiran yang nyata. Hal ini demi menjaga
kemaslahat bersama.

7. Kaidah syar’i yang harus disepakati bersama, bahwa tidak boleh
menghilangkan kejahatan dengan kejahatan yang lebih buruk dari
sebelumnya, namun mestinya perkara yang benar menghilangkan kejahatan
itu atau menguranginya.

8. Tidak boleh memberontak penguasa jika akan menimbulkan kerusakan
yang lebih besar, stabilitas keamanan terguncang, kesewenang-wenangan
terhadap hak-hak asasi manusia dan pembunuhan orang-orang yang
semestinya tidak boleh dibunuh.

9. Wajib bersabar, patuh dan taat dalam perkara yang ma’ruf, serta
memberi nasihat kepada pemerintah, mendo’akan kebaikan bagi mereka,
berusaha sekuat tenaga meminimalkan kejahatan dan menyebarkan
sebanyak-banyaknya nilai-nilai kebaikan.

10. Barangsiapa beranggapan bahwa pemikiran semacam ini merupakan
kekalahan dan kelemahan, maka sesungguhnya angapan seperti itu
menunjukkan kekeliruan dan kedangkalan pemahamannya. Artinya, mereka
tidak memahami dan tidak mengenal Sunnah Nabi sebagaimana mestinya.

Dalam menghilangkan kemungkaran, mereka hanya dibakar oleh semangat
dan emosi untuk menghilangkannya saja, sehingga (kemudian) mereka
melanggar rambu-rambu syari’at, sebagaimana Khawarij dan Mu’tazilah.

11. Siapapun orangnya, baik pemuda atau bukan, tidaklah layak
mencontoh Khawarij dan Mu’tazilah. Mereka harus meniti madzhab Ahlu
Sunnah Wal Jama’ah.

12. Bagi yang memiliki semangat membela agama Allah dan para da’i,
wajib untuk mengikatkan diri dengan ketentuan-ketentuan syari’at.
Wajib memberi nasihat kepada para penguasa dengan perkataan yang bagus
dan dengan cara yang baik.

13. Tidak dibolehkan membunuh kafir musta’min (orang kafir yang
mendapat perlindungan pemerintah Islam) yang diterima oleh pemerintah
yang berdaulat secara damai. Tidak boleh pula menghukum pelaku maksiat
dan berbuat aniaya terhadap mereka. Namun kejahatan mereka diangkat ke
mahkamah syari’at. Jika tidak ada, maka cukup dengan nasihat saja.

14. Wajib hukumnya mematuhi dan mentaati peraturan-peraturan
pemerintah yang tidak bertentangan dengan syari’at, seperti: peraturan
lalu-lintas dan imigrasi (seperti kewajiban SIM pengendara dan
paspor). Barangsiapa mengangggap dirinya memiliki hak untuk
melanggarnya, maka perbuatannya itu bathil dan mungkar.

15. Diantara konsekuensi bai’at, yaitu menasihati waliyul amri
(penguasa). Dan diantara wujud nasihat, yaitu mendo’akan kepada
penguasa supaya mendapatkan taufiq dan hidayah.

16. Setiap individu rakyat wajib bekerja sama dengan pemerintah dalam
mengadakan perbaikan dan menumpas kejahatan.

17. Maksud didirikan pemerintah, ialah untuk merealisasikan maslahat
syar’i dan mencegah mafsadat. Maka setiap tindakan yang diinginkan
darinya adalah kebaikan. Adapun yang dapat menimbulkan kerusakan yang
lebih besar, maka hal itu dilarang.

18. Mendo’akan kebaikan bagi penguasa merupakan ibadah yang paling
agung dan ketaatan yang paling utama. Al Fudhail bin Iyadh
berkata,”Bila aku punya do’a yang terkabulkan, maka aku akan
memanjatkan untuk penguasa. Karena baiknya mereka akan menentukan
kebaikan orang banyak.”

Maraji:

- Al Ahkamus Sulthaniyah, karya Imam Abu Hasan Al Mawardi.
- As Siyasah Asy Syar’iyah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
- Ath Thuruqul Hukmiyah Fi Siyasah Asy Syar’iyah, karya Ibnu Qayyim.
- Ash Shahwah Islamiyah, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.
- Al Muntaqa Fi Fatawa, Syaikh Fauzan.
- Hakiqatul Amr Bil Ma’ruf Wan Nahyu ‘Anil Munkar, karya Dr. Hamd bin
Nasir Al Ammar.
- Muraja’at Fi Fiqhil Waqi Asy Syiyasi Wal Fikri, Syaikh Bin Baz,
Syaikh Fauzan dan Syaikh Shalih Sadlan.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun VII/1424H/2004M
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km. 8 Selokaton Gondangrejo Sol

Wednesday, March 30, 2011

Konspirasi Zionis Dalam Perfilman di Indonesia

Bagian Dari Media Liberalisme Islam di Layar Lebar



Belum lama ini terjadi kehebohan seputar isu penarikan atau pemberhentian pemutaran Film Asing terutama dari Hollywood di Indonesia.

Isu penghentian suply Film Asing ke Indonesia, tentu saja mencengangkan banyak pihak, terutama para pelaku film, pecinta sinema, hingga para pelaku yang bergelut di dunia layar lebar. Spontan isu ini melebar menjadi topik-topik perbincangan hangat di kalangan pemerhati film.

Budayawan sekaligus pemain film Sujiwo Tedjo, seperti dikutip inilah.com, menganggap penarikan film Hollywood merupakan kesewenang-wenangan fihak Amerika Serikat (AS). Padahal menurutnya, sekalipun pajak film naik, produsen film Hollywood tetap untung.

"Jadi menurut aku itu cuma kesewenang-wenangan pihak Amerika saja dan pasti mereka akan menang," ujar Sujiwo Tedjo di Jakarta, Minggu (20/2/2011).

Namun melangkah maju dari amarah Sudjiwo Tedjo, fakta “menyakitkan” dari pecinta film di Indonesia mengundang silang sengketa di antara mereka. Mereka terjebak pada dominasi dua pendapat yang nyaris bertabrakan: antara yang mendukung dengan yang menolak, yang gembira dengan nestapa.

Kalangan yang mendukung pemberlakuan pemberhentian pasokan film asing melihat bahwa hal ini adalah peluang emas bagi perfilman Indonesia untuk dapat maju dengan pesat. Tidak hanya itu, mereka menganggap bahwa importir perfilman asing terlalu serakah karena berusaha untuk tidak menyetujui kenaikan pembebanan pajak yang nantinya akan diterapkan.

Berbeda pendapat dari kalangan kontra, fihak yang menolak memiliki argumen nyaris bertolak belakang. Pada dasarnya kubu yang melayangkan aksi penolakan terbagi pada dua tema. Pertama, mereka menolak karena berhentinya pasokan film asing ke Indonesia akan menandakan matinya kreatifitas sineas muda.

Mereka melihat bahwa sineas muda Indonesia berpeluang berada pada jurang stagnasi kreatifitas mengingat mereka kini tidak lagi memiliki informasi update tentang trend film dunia. Film Indonesia selama ini tidak juga memberikan warna baru yang bisa menandingi laju perkemangan film-film Holywood, kata mereka.

Sedangkan, aktris kawakan, Jajang C. Noer, dalam wawancaranya di Metro TV beberapa waktu lalu menyatakan tidak ada kaitannya antara pemberhentian film asing dengan majunya film Indonesia. Jajang ingin mendebat kalau tidak mau dibilang menunda optimisme sebab selama ini ia menilai tidak ada kaitan berarti antara melesatnya film Indonesia simetris dengan menjamurnya film Asing di bumi pertiwi.

Bahkan Norca Massardi, orang yang kita kenal aktif sebagai juri film, memiliki perspektif lain. Ia melihat pada konten lebih jauh pada laju perekenomian bioskop-bioskop di Indonesia.

“Bioskop 21 Cineplex punya sekitar 500 layarnya di Indonesia. Sebagai pihak yang diberi hak untuk menayangkan film impor akan kehilangan pasokan ratusan judul film setiap tahun. Itu layar akan menganggur, bahkan bisa ditutup kalau tidak ada yang bisa ditayangkan.” kata Noorca Masardi sebagai juru bicara 21 Cineplex, seperti dikutip seputarkita. Info, 19 Februari 201.

Pria yang lahir 56 tahun lalu ini, menyimpulkan bahwa penyelenggara bioskop adalah fihak yang akan dirugikan dari dampak pemberhentian pasokan film asing. Bioskop selama ini menjadi salah satu bagian dari pergerakan ekonomi nasional dalam bidang hiburan.

Sebagaimana diketahui, setiap kopi film impor yang masuk ke Indonesia, selama ini sudah dikenakan bea masuk+pph+ppn sebesar 23,75% dari nilai barang. Selain itu, selama ini, pemerintah melalui Ditjen Pajak dan Kemenkeu juga selalu menerima pembayaran pajak penghasilan 15% dari hasil eksploitasi setiap film impor yang diedarkan di Indonesia.

Seperti dikutip kompas.com 18 februari lalu, tindakan ekspor film diambil lantaran MPA (Motion Picture Association, yang berwenang melakukan peredaran film hollywood di Indonesia) merasa keberatan dengan peraturan pajak bea masuk atas hak distribusi film impor di Indonesia yang berlaku efektif bulan kemarin. MPA protes dan menilai produk mereka seharusnya bebas bea masuk impor.

Argumentasi MPA, kemudian dibantah Heri Kristiono selaku Direktur Teknis Kepabeanan. Seperti dikutip forum.kompas.com, 20 Februari, Heri Kristiono mengatakan bahwa pengenaan bea masuk bukan hal baru, melainkan aturan lama yang mengacu pada ratifikasi Artikel 7 kesepakatan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Menyambung daripada itu semua, Noorca berharap pemerintah bisa mempertimbangkan kembali ketentuan baru tersebut sehingga bisa terus memberikan ruang kepada publik untuk mendapatkan hak hiburan seluas-luasnya.

"Prihatin atas keputusan pihak asing yang tidak mau lagi mendistribusikan filmnya ke Indonesia, kami yang bergerak di bidang bioskop hanya bisa berharap dan berdoa semoga pihak MPA bisa kembali mendistribusikan film ke Indonesia," lanjut Noorca Masardi.

Pertanyaannya kemudian adalah dimanakah posisi kita sebagai umat muslim melihat gejala ini? Apa sikap kita melihat tantangan global sudah ada depan mata kita? Saya berharap jawabannya adalah kita menolak film asing asing sekaligus juga tidak mendukung asumsi bahwa ini adalah arus untuk memajukan film nasional.

Logikanya sederhana saja: betulkah Motion Picture Association yang bernaung di Amerika Serikat tidak mampu membayar pajak dari negara “kecil” seperti Indoseia. Masuk nalarkan Amerika yang selama ini terkenal melemparkan faham hedonisme dan hura-hura lewat film-filmnya merasa frutasi hanya karena pembiayaan pajak bea masuk+pph+ppn sebesar 23,75% dari nilai barang.

Atau jangan-jangan ini adalah bagian dari konspirasi, taktik, strategi mereka yang ingin melihat jutaan remaja Indonesia, dewasa, pemuda-pemuda muslim, dan wanita berjilbab turun ke jalanan mengemis agar Holywood kembali ke Indonesia. Semuanya ini mereka lakukan demi membuka mata kita semua: Siapakah raja dan tempat bergantung sesungguhnya masyarakat Indonesia selama ini?

Kita lupa siapakah Motion Picture Association. Kita lupa siapakah adikuasa sebenarnya di balik nama besar mereka, dan kita lupa apa misi mereka sesungguhnya. Motion Picture Association of America (MPAA) tidak lain adalah asosiasi zionis dalam kancah perdagangan nirlaba Amerika Serikat yang bertujuan memajukan kepentingan bisnis lewat studio film.

Ia didirikan pada tahun 1922 sebagai asosiasi perdagangan untuk industri film Amerika. Sementara itu, Motion Picture Export Association of America (Asosiasi Ekspor film Amerika, disingkat MPA) dibentuk tahun 1945 untuk memajukan pemasaran film Amerika di seluruh dunia, dan membuka proteksi impor di berbagai negara terhadap film Amerika Serikat.

Anggota MPAA sendiri terdiri dari enam studio besar Hollywood yang terkait erat dengan Jaringan Yahudi Internasional dalam kancah perfilman diantaranya: The Walt Disney Company, Sony Pictures, Paramount Pictures (Viacom—DreamWorks), 20th Century Fox (News Corporation, Universal Studios (NBC Universal, dan Warner Bros. (Time Warner).

Oleh karena itu kita sebagai umat muslim tidak boleh alpa terhadap yang dikatakan Samuel Zweimmer, Ketua Umum Asosiasi Agen Yahudi pada sambutan pembukaan Konferensi Yerusalem di tahun 1935 jauh sebelum invasi perfilman zionisme melanglang buana ke seluruh dunia, khususnya Indonesia.

Bayangkan mereka sudah merancang bagaimana faham-faham zionis akan disebarkan ke berbagai mancanegara melalui media apapun. Ketika kita tidur, ketika kita belajar, ketika kita beraktifitas, mereka secara rapih memasang ancang-ancang bagaimana suatu saat kelak masyarakat muslim akan jauh dari agamanya, dan bertekuk lutut didepan wajah mereka, tanpa kita sadari.

“Yang perlu saudara-saudara perhatikan adalah bahwa tujuan misi yang telah diperjuangkan bangsa Yahudi dengan mengirim saudara-saudara ke negeri-negeri Islam, bukanlah untuk mengharapkan kaum muslim beralih ke agama Yahudi atau Kristen. Bukan itu. Tetapi tugasmu adalah mengeluarkan mereka dari islam, menjauhkan mereka dari islam, dan tidak berpikir mempertahankan agamanya. Di samping itu saudara-saudara harus menjadikan mereka jauh dari keluhuran budi, jauh dari watak yang baik... Saudara-saudara patut mengetahui bahwa para tetua kita sangat gembira dengan segala apa yang telah saudara-saudara hasilkan. Oleh sebab itu, lanjutkanlah perjuanganmu demi risalah agamamu. Semoga saudara-saudara semua mendapat berkat dari Tuhan kita, Elohim, Allah yang Maha Suci dan Maha Agung. Lanjutkanlah perjuangan ini hingga dunia benar-benar terberkati.”

Dan keniscayaan pidato itu sekarang ada di depan mata kita. Tidak usah jauh-jauh: Di Layar Kaca Perfilman Indonesia.

Di depan mata anak-anak kita yang mengantri tiket untuk menonton film Indonesia dan Amerika tapi mensisipkan faham kabbalah, theosofi, hingga ateisme.

Semuanya dikemas secara menghibur, dan diam-diam menikam Islam. Selamat Datang di dunia konspirasi kawan.


Bagian Dari Media Penikam Islam di Layar Lebar


Yahudi memang memiliki banyak cara menjauhkan umat Islam dari agamanya. Kita dahulu masih melihat film-film Indonesia mengobral cinta utopis belaka. Namun seiring trend dan laju liberalisme yang pesat, tengoklah kita bisa menyaksikan deretan film-film yang menyudutkan Islam tanpa melihat akar persoalan. Dan tak jarang cover film-film ini dipenuhi deretan award dari kontes Film Internasional.

Melecehkan Islam

Film "3 Doa 3 Cinta" (2008), misalnya, film besutan Nurman Hakim ini meraih penghargaan Grand Prize of the International Jury pada International Festival of Asian Cinema Vesoul, Perancis. Menurut Nurman Hakim dan Nan Achnas, salah satu juri dari India yang trauma terhadap kejadian penyanderaan di Mumbai mengucapkan terima kasih atas film tersebut karena mengingatkan pentingnya menjaga kerukunan dan saling menghormati keyakinan yang berbeda.

Padahal film ini begitu menyudutkan pesantren. Dikisahkan salah seorang pengajar di pesantren melakukan homoseksual dengan santrinya. Tidak hanya itu, ada pula adegan ciuman serta prilaku tak senonoh seorang santri saat mengintip tubuh anak perempuan sang kyai.

Terakhir, Nurman Hakim malah membesut Film terbarunya Khalifa (2010). Film ini menurut pengamatan penulis tidak imbang menjelaskan konteks poligami dan seakan menggring bahwa wanita bercadar bersuamikan teroris. Padahal banyak pula wanita bercadar di Indonesia tidak menyetujui tindak terorisme.

Pluralisme Agama

Walhasil media menyudutkan Islam melalui media layar lebar bisa beragam cara. Invasi media liberalisme sangat terasa setelah Film Perempuan Berkalung Sorban (PBS) melayangkan kontroversi. Akan tetapi, Hanung Bramantyo, sang sutradara, tak lama lagi akan melahirkan film yang lebih heboh dari PBS. Sebuah film dengan gambar besar kalimat tanda tanya dilanjutkan dengan ungkapan “Masih Pentingkah Kita Berbeda” akan rilis di Bioskop-bioskop Indonesia mulai 7 April 2011 ini.

Dari tampilan gambar yang disajikan dalam trailernya, tampak sebuah gereja, masjid, dan kelenteng bergantian hadir. Namun dibalik tampilan tempat ibadah berbagai agama itu ada ucapan yang nantinya kita akan faham bahwa mau dibawa kemana arah film ini. Simaklah, bait yang dilontarkan oleh seorang aktor tersebut berikut ini:

“Manusia tidak hidup sendirian di dunia ini.

Dia memilih jalan setapak masing-masing.

Semua jalan setapak itu berbeda-beda,

namun menuju satu jalan yang sama

dan satu tujuan yang sama yaitu Tuhan.”

Menariknya, narasi itu dihembuskan berbarengan dengan adegan seorang wanita Kristiani beribadah di gereja, pemuda ketika tengah mengaji, lalu disambut seorang ibu yang tengah melaksanakan ritual di Klenteng. Ketika kita sambung adegan ini bersamaan dengan kalimat: Semua jalan setapak itu berbeda-beda, namun menuju satu jalan yang sama, dan satu tujuan yang sama yaitu Tuhan, jelas apa pesan yang diinginkan oleh Hanung Bramantyo: Kesatuan agama-agama. Sebuah mitos dari Kabbalah Yahudi untuk menciptakan kedamaian dunia yang kini berubah nama beken seperti Pluralisme Agama, Multikulturalisme, hingga Inklusivisme. Padahal gagasan PAGANIS (Pluralisme, Multikulturalisme, dan Inklusivisme) tak lain adalah upaya melenyapkan agama-agama menuju satu agama saja, yakni Yahudi. Ini termaktub dalam protocol of zion ke 14.

Diupayakan di dunia ini hanya satu agama, yaitu agama Yahudi. Oleh karena itu segala keyakinan lainnya harus dikikis habis. Kalau dilihat di masa kini, banyak orang yang menyimpang dari agama. Pada hakekatnya kondisi seperti itulah yang menguntungkan yahudi.

Gagasan pluralisme jua menjadi trademark Film My Name Is Khan. Film ini rilis tahun 2010 lalu dibawah perusahaan Yahudi Fox Search Light. Menariknya kendati film ini dirilis oleh perusahaan Yahudi, banyak umat muslim terpukau atas aksi Shahrukh Khan.

Film yang banyak dibintangi aktris papan atas India ini dikatakan sebagai sebuah film yang patut diapresiasi oleh umat muslim karena menceritakan seorang mukmin sejati yang memperjuangkan nasibnya di Amerika. Perlakuan diskriminasi, marjinalisasi dan intimidasi penduduk Amerika terhadap muslim pendatang pasca tragedi 11 September disebut-sebut menginspirasi sang sutradara, Karan Johar, untuk membuka mata dunia.

Pertanyaannya adalah betulkah Film My Name Is Khan ditujukan untuk membangkitkan rasa persaudaraan dan simpati terhadap umat muslim atau ini hanya sebuah alih-alih dari misi sesungguhnya, yakni doktrinasi pemahaman Pluralisme Agama? Apakah kita yakin, Fox Search Light yang notabene adalah jaringan bisnis Zionis dalam dunia hiburan memiliki niat tulus untuk mensyiarkan agama Islam di muka bumi? Dan masuk logikakah Zionis yang selama ini justru tertawa melihat umat Islam tersudut dalam tragedi 9/11, bangkit lalu menyatakan penyesalannya dan menggantikan penyesalan itu dengan menelurkan film ini? Mari kita cermati baik-baik.

Dalam Film berdurasi 160 menit itu, Khan kecil, digambarkan hidup dalam situasi penuh konflik antara agama Islam dan Hindu. Saat itu ia mendengar sekelompok umat muslim tengah marah, dengan mengatakan, “musnahkan dan hancurkan….”. Mendengar suara-suara penuh amarah itu, Khan kecil selalu mengulangnya sampai tiba di rumah.

Ibu Khan sangat kaget dan melarang Khan berbicara seperti itu. Maka sang Bunda memberikan pelajaran yang akan mengubah seluruh jalan hidup Khan selanjutnya, dengan mengatakan kepada Khan kecil, “Di dunia ini hanya ada dua perbedaan, yaitu kebaikan dan kejahatan. Baik, manakala seseorang berbuat kebaikan, dan Jahat manakala seseorang berbuat kejahatan, jadi tidak ada Muslim dan Hindu”.

Jika kita tidak cermat membacanya, Film ini bisa merusak aqidah dan mengantarkan penonton pada kesimpulan bahwa standar kebaikan dan keburukan terletak pada nilai-nilai kemanusiaan. Akhirnya dengung ini sekarang menggema di seantero dunia lewat ungkapan: lebih baik menjadi humanis daripada relijius tapi jahat. Lebih baik tak bertuhan, daripada beragama tapi tak manusiawi.

Hamid Fahmi Zarkasy, dalam tulisannya Religius-Humanis, mengatakan bahwa di Barat memang telah terjadi perubahan orientasi masyarakat dari teosentris (Tuhan sebagai pusat) menjadi anthroposentris (manusia sebagai pusat). Dengan doktrin empirisisme, Tuhan dianggap tidak riel, sedangkan manusia begitu riel dan kasat mata. Membela Tuhan, mementingkan Tuhan, menghormati Tuhan atau mensucikan Tuhan dianggap sia-sia dan tidak ada gunanya. Sebab dalil orang-orang Humanis persis dengan para pengusung PAGANIS: “Tuhan tidak perlu dibela karena sudah Maha Kuasa”.

Selain film Tanda Tanya, sebelumnya nuansa pluralisme agama juga hadir dalam film “3 Hati, Dua Dunia, Satu Cinta.” Lewat Film yang disutradari Benni Setiawan ini, dikisahkan jalinan cinta antara Rosid dan Delia terjadi kala mereka masih menjadi mahasiswa di sebuah kampus. Ketertarikan antara Rosid dan Delia bermula dari karakter yang dimiliki masing-masing. Rosid adalah pemuda nyentrik dengan rambut kribo yang ingin menjadi penyair. Sedangkan Delia adalah pemudi manis dan cenderung pendiam yang kepincut dengan syair-syair Rosid.

Namun cerita cinta keduanya terhalang jurang yang tidak bisa mereka lalui. Mereka berbeda agama. Rosid berasal dari keluarga Arab-Betawi Muslim yang kuat memegang kuat tradisi. Dan dalam diri Delia mengalir darah Manado yang Katolik. Cerita makin dramatis ketika orang tua mereka tidak menyetujui jalinan cinta terlarang itu. Namun perbedaan itu tidak menghalangi mereka untuk melanggengkan cinta diantara keduanya.

Jadi di film ini, bahwa agama memang sudah tidak lagi menjadi persoalan penting dan prioritas dalam mengarungi bahtera rumah tangga seperti kata Madame Balavatsky, pengusung theosofi, bisa jadi betul. Sebab Agama sudah tidak dianggap relevan sebagai sebuah prinsip, apalagi prinsip cinta. Padahal Allah jelas memberi tuntunan bagi kita dalam memilih pasangan yang baik.

Firman Allah SWT (yang artinya): “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah [2] : 221)

“Kafir di Bioskop”

Makar zionis yang melalaikan umat Islam lewat film-film Holywood, ternyata kini berada di atas angin. Sebab saat ini, mereka tidak usah pusing-pusing mengobrak-abrik Islam lewat tangan mereka sendiri. Saya jadi teringat ucapan Nirwan Syafrin, Ustadz muda lulusan Malaysia yang kini aktif membendung faham liberalisme Islam di Indonesia. Ia pernah berujar, “Dulu kita masih kafir dengan dibiayai (beasiswa) mereka, sekarang kita kafir dengan biaya sendiri”. Saya lantas termenung dan bergumam dalam hati, “Bahkan kita dikafirkan masal dalam sebuah gedung bioskop.” Ironis.

"Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya." (QS. Al-Isra' [17] : 36).


Bagian Dari Media Penikam Islam di Layar Lebar


Pornografi and Undermind Control

Eksodus film-film tak seronok juga patut kita cermati. Kalau anda melihat film-film asing, hampir di setiap penayangannya menyisipkan dua hal: kalau tidak adegan ranjang pasti ada kecupan. Dulu kita mengenal film Basic Instinct, di Indonesia muncul Jacarta Undercover. Dulu ada film Scary Movie, di Indonesia Tukang Jamu Gendong berubah menjadi hantu cabul. Di Amerika ada film Setan berpakaian rok mini. Di Indonesia? Tidak usah saya sebut namanya, hampir berjumlah ratusan. Selain judulnya menggelikan, semakin menambah rasa malu kita sebagai umat.

Dan kita bisa lihat dari mulai adegan cium saja, kini film Indonesia ikut-ikutan mengadopsi. Sebut saja film 18+, Virgin, bahkan di film Cokelat Stroberi, laki-laki sesama laki-laki berciuman. Dalihnya trademark.

Pertanyaannya kemudian adalah kenapa pornografi yang dipilih? Karena zionis tahu betul efek pornografi memiliki tingkatan yang lebih mengkhawatirkan ketimbang narkoba. Bayangkan dampak dari pornografi bisa menimbulkan visualisasi tayangan ke dalam otak anak dalam jangka waktu sangat lama.

Otak adalah satu-satunya sistem yang kuat mengakomodir optimalisasi imaji anak yang melekat dalam jangka cukup panjang dan mendalam. Ekses dari hal ini adalah bahwa otak manusia akan berada di bawah kontrol yang mampu menghancurkan konsentrasi. Seorang pecandu pornografi minimal mesti mengikuti program rehabilitasi minimal 18 bulan.

Dalam seminar mengenai dampak pornografi terhadap kerusakan otak di Jakarta 2/3/2009, ahli bedah syaraf dari Rumah Sakit San Antonio, Amerika Serikat, Donald L. Hilton Jr, MD pernah mengatakan bahwa adiksi (kecanduan) mengakibatkan otak bagian tengah depan yang disebut Ventral Tegmental Area (VTA) secara fisik mengecil. Adiksi apa kemudian yang mengkhawatirkan? Adiksi pornografi. Pornografi, lanjut Donald Hilton, mampu menciptakan perubahan konstan pada neorotransmiter dan melemahkan fungsi kontrol.

Rupanya, ini yang membuat orang-orang yang sudah kecanduan tidak bisa lagi mengontrol perilakunya. Kondisi itu, tidak terjadi secara cepat dalam waktu singkat namun melalui beberapa tahap yakni kecanduan dengan ditandai dengan tindakan sederetan tingkah impulsif, ekskalasi kecanduan, desensitisasi dan akhirnya penurunan perilaku.

Apakah pornografi yang dimaksud hanya berlaku pada film full porno? Sayangnya tidak! Gambaran, adegan, kisah dalam film-film bioskop Indonesia yang menampilkan atris-artis berpakaian mini, komedi seksi, juga turut mempengaruhi fungsi mendalam dari otak manusia.

Menurut Kepala Pusat Inteligensia Departemen Kesehatan, dr Jofizal Jannis, menyatakan bahwa sistem otak bersifat adaptif dan fleksibel. Inilah kecanggihan otak. Ia mampu menerima info positif dan negatif yang pada akhirnya menjadi manifestasi pada pembentukan perilaku dan karakteristik seseorang.

Kondisi inilah yang memang merupakan salah satu taktik zionis. Mereka ingin bahwa remaja Indonesia secara pemikiran sudah dibawah kontrol. Undermind control itulah yang menemukan caranya melalui pornografi. Film berubah menjadi sebuah tayangan kepada transfer ideologi. Dari sobekan tikek menjadi inflitrasi. Pornografi bukan sekedar hiburan, pornografi adalah nilai.

Makanya itu tak heran kita melihat bagaimana LSM-LSM asing sangat bergelora jika sudah bicara memberi dukungan terhadap invasi film porno dengan dalih Hak Asasi Manusia dan kebebasan berekspresi.

Film Porno Berbaju Hak Perempuan

Berkaca daripada itu, minimal ada dua film bergenre mesum-ideologis yang menwarnai hingar bingar dalam pentas perfilman Indonesia modern. Pertama sebuah film berjudul “Mereka Bilang Saya Monyet”. Film ini, film posmo. Berangkat dari Novel karangan Djenar Maesa Ayu, aktris kondang yang tak lain kerap menelurkan kisah beraroma feminisme dan seronok. Novel ini ingin mendebat arti moralitas sesungguhnya.

Karenanya, alih-alih ingin mengangkat hak perempuan, film ini justru banyak menampilkan adegan tidak senonoh. Sekalipun demikian, entah alasan apa yang membuat Lembaga Sensor Film justru meloloskan film ini, bahkan film yang dirilis desember 2007 tersebut menerima tujuh nominasi sekaligus pada ajang Festival Film Indonesia 2008. Empat diantaranya berhasil memenangkan berbagai kategori yang ditawarkan, termasuk Aktris Terbaik untuk Titi Sjuman.

Selain itu, film dengan bungkus feminisme namun bermaterikan pornografi juga diangkat lewat Film “Perempuan Punya Cerita”. Sebenarnya film yang diproduksi Kalyana Shira ini merupakan kumpulan 4 film pendek tentang perempuan Indonesia dari segala umur dan kehidupan. Tentunya, dengan mengambil angle sebuah kisah penindasan perempuan, film ini menggiurkan bagi aktifis feminis untuk mengangkat hak-hak perempuan.

Film berjudul Cerita dari Jogjakarta, misalnya. Alih-alih memberikan pelajaran bagi remaja, film ini justru mempertontonkan seorang siswi diperebutkan dan dihamili oleh empat remaja sekaligus. Dan menariknya untuk menentukan siapa yang harus bertanggung jawab, nasib sang perempuan dipertaruhkan hanya lewat sebuah undian. Naudzubillah.

Kalau sudah begini, logikanya ia hanya menampilkan fakta sekaligus menampilkan blunder. Dalam Islam, fakta porno, tidak boleh ditampilkan, apalagi mau dijadikan keteladanan.

Kiprah Zionis Dalam Memberi Dukungan

Pendanaan film-film seksualitas sebenarnya tidak dilakukan oleh bangsa sendiri. Minimal ada back up dari dana asing untuk menyuburkan film-film tersebut. Kasus ini terjadi pada pegelaran Q! Film Festival, sebuah tragedi bernama festival film homo yang pertama kali terjadi di Negara mayoritas muslim ini. Terakhir, acara ini dilaksanakan pada tanggal 24 september 2010.

Bahkan, jika anda masuk ke website Q Film Festival http://www.q-munity.org, anda akan langsung terkejut karena festival ini rupanya sudah berlangsung sembilan tahun di Jakarta. Sampai-sampai menurut salah satu harian, Festival ini menjadi bagian dari bianglala kehidupan urban Jakarta sekaligus sebagai aset penting agenda kesenian yang seharusnya menjadi kebanggaan Ibu Kota.

Acara Q! Film Festival pada tahun 2010 yang terlaksana di Goethe Institut Jakarta, sempat dikecam oleh Front Pembela Islam (FPI). FPI mengatakan bahwa penyelenggaraan festival ini meresahkan masyarakat yang notabene mayoritas muslim. FPI kemudian melayangkan gugatan dan hendak membubarkan pergelaran mesum tersebut jika tidak dihentikan.

Namun rupanya, meski mendapat protes keras dan ancaman pembubaran, panitia acara festival film Q tetap tak bergeming. Mereka bersikeras melanjutkan kegiatan sesuai jadwal kendati kecaman datang dari berbagai pihak. Bahkan, Komnas Perempuan melalui rilisnya menyatakan bahwa tudingan FPI justru salah alamat.

“Acara ini tidak ada hubungannya dengan moralitas. Demi kepentingan kehidupan bernegara yang menjujung tinggi hukum, HAM, dan Demokrasi, Komnas Perempuan menghimbau agar setiap pihak membuka ruang dialog yang santun dan beradab” ungkap mereka.

Uniknya, dukungan terhadap acara tersebut tidak saja menjadi monopoli Komnas Perempuan. Tercatat sederetan lembaga pembela hak-hak atas nama perempuan dan kebebasan berekspresi bersuara lantang ikut melontarkan pernyataan sikap. Mereka menekankan kalau Q! Film Festival merupakan festival seni yang menyajikan informasi dan karya seni tentang fenomena keberagaman manusia.

Jadi tidak ada hubungannya dengan moralitas. Kesamaan visi dan tujuan itulah yang mengantarkan mereka merapatkan barisan membela Festival Film thoghut itu dalam wadah bernama Q-Community. Dari sekian Lembaga-lembaga itu tercatat nama-nama seperti Goethe-Institut, Centre Culturel Francais, Erasmus Huis, Dewan Kesenian Jakarta (Kineforum), Subtitles, KONTRAS, Arus Pelangi, Gaya Nusantara, Komnas HAM, Komnas Perempuan, Jurnal Perempuan, Kartini Asia Network, Perempuan Mahardika, Institut Ungu, Ardhanary Institute, Institut Pelangi Perempuan, GWL–INA, Institute for Defense Security and Peace Studies (IDSPS), Ratna Sarumpaet Crisis Center, Human Rights of New York dan Berlin Film Festival.

Dari sini kita bisa melihat sederetan lembaga asing dalam mendukung pelaksanaan Q! Film Festival. Kiprah institusi tersebut menjadi motor penggerak acara berskala internasional ini, baik dalam bidang pendanaan, promosi, sampai pembelaan. Sutradara Festival, John Badalu, sendiri mengakui kalau pendanaan festival film ini berasal dari kelompok-kelompok asing.

”Pendanaan festival film ini berasal dari kelompok-kelompok asing. Kami memutar film di pusat-pusat asing. Kelompok radikal tidak akan berani menyerang kita. Jika mereka melakukannya, ini sama saja menyerang negara asing,” ujarnya.

Peran LSM-LSM atau Yayasan Internasional untuk menggalang karya-karya Film anak bangsa memang bukan barang baru. Film Perempuan Berkalung Sorban yang dirilis Januari 2009 adalah satu kasus tertentu. Film yang hadir lewat garapan sutradara Hanung Bramantyo ini bahkan sudah didanai oleh Ford Foundation sejak masih berwujud novel.

Ford Foundation memang terkenal gencar merekrut anak-anak muda kreatif Indonesia. Para sineas muda yang ingin mengangkat film-film seputar seksualitas, keseteraan gender, kearifan lokal, dan lain sebagainya akan diberikan suntikan dana segar dalam proses pembuatannya.

Namun, kendati tetap berkilah mereka mengaku sebagai organisasi Nirlaba, namun Ford Foundation memliki aset yang cukup menggiurkan. Menurut Wikipedia, cadangan devisa lembaga yang berpusat di New York ini mencapai US$ 13.7 dan US$ 530 juta diantaranya dalam bentuk hibah. Dari sinilah kemudian mereka menyebarkan misinya melalui proyek film-film sarat ideologis kufar ke berbagai negara.

Selain membiayai Film PBS, Perempuan Punya Cerita, Lembaga mantel zionis ini juga membiayai film pembelaan terhadap hak waria berjudul Working Girls (Perempuan Pencari Nafkah). Dalam salah satu segmen dalam film ini berjudul Ulfie Pulang Kampung. Bercerita tentang perjalanan seorang waria dalam dua kehidupan, kisah ini ingin membawa penonton melihat waria dan pengidap AIDS dari perspektif berbeda. Karena itu tak heran, bukan mengajak sang waria untuk bertaubat, film arahan Daud Sumolang dan Nitta Nazyra C. Noer ini malah mempopulerkan penggunaan kondom agar para waria terhindar dari penyakit AIDS.

Ford Foundation sebenarnya tidak bekerja sendiri di Indonesia, dalam mengkampanyekan isu feminisme, kesetaraan gender, hingga homoseksualitas. Tercatat organisasi yang kini dipimpin bekerjasama dengan Human Rights Watch New York.

Human Rights Watch of New York sendiri adalah salah satu lembaga humanisme sekular yang berpusat di New York. Salah satu rekam jejaknya erlihat saat mereka demikian gigih dalam membela pergelaran Q! Film Festival di Indonesia, termasuk juga ketika membela Ahmadiyah baru-baru ini.

Tantangan Bagi Umat Muslim

Dengan gejala ini, umat muslim harus waspada. Konspirasi kaum zionis dalam dunia perfilman mesti disikapi dengan bagaimana setiap umat membentengi keluarga dengan akidah dan tauhid yang lurus. Terbukti film memakai label Islam pun tidak juga bertujuan untuk syiar dakwah.

Tentu ini bukan berarti kita tidak boleh berkreasi. Islam menghargai kreativitas manusia, namun kita juga jangan pernah lupa bahwa ada kaedah-kaedah syar’i yang harus menjadi dasar tiap manusia menelurkan gagasannya. Terlebih saat ini sistem Dajjal sedang berdiri membangun kekuatannya melalui invasi perfilman dunia.

Semoga kita selalu diberikan penerangan oleh Allah untuk bisa mengendus misi mereka, walau mereka berdalih: “ini film Islam kok, kebebasan berekspresi kok, demi toleransi umat beragama kok”.

Ya Allah lindungilah keluarga kami dari fitnah akhir zaman. Dimana sesuatu yang baik dikatakan buruk, dan keburukan dilapisi dengan dalih kebenaran. Ya Rabb hanya kepadaMu lah kami bergantung. Hanya kepadaMu lah kami memohon ampun dan pertolongan. Wallahua’lam bishshawab.  (pz)





Menyingkap Motif Politik Zionisme Dibalik Orientalisme

"Apa Yang Diambil Muhammad Dari Yahudi?"



Senin, 21/03/2011 12:19 WIB

Judul di atas penulis ambil dari buku karangan Abraham Geiger. Pendiri Yahudi Liberal dan Pelopor Studi Islam, dengan judul aseli, Was hat Mohammed aus dem Judenthue aufgenommen? pada tahun 1833.

Dalam buku tersebut, Geiger menunjukkan bahwa sebagian besar Al Quran diambil atau didasarkan pada literatur Keyahudian. Geiger merujuk pada kenyataan akan banyaknya kosa kata dalam al-Qur’an berasal dari bahasa Ibrani seperti Tabut, Taurat, Jannatu ‘And (Eden), Jahannam (Gehinnom), Ahbar (habher), darasa, Rabbani, Sabt, Sakinat (Shekinah), Taghut, Furqan, Ma’un, Mathani (mishna), Malakut, dan lain sebagainya. Geiger juga mengecam penyimpangan dan rekayasa Nabi Muhammad terhadap ayat-ayat Qur’an yang menyudutkan Yahudi.

Dan anda tahu berapa umur Geiger saat menulis buku tersebut? 23 tahun! Apa hasil dari ini semua? Geiger berhasil lolos seleksi ke Universitas Bonn dan kelak menjadi Doktor teologi terhebat abad 19, sekaligus ingin mengatakan pada dunia: siapakah Agama terhebat sesungguhnya selama ini?

Bayangkan dari umur tujuh belas tahun, ia sudah sudah konsisten mengkaji bahasa dan sastra Arab. Selama berjam-jam, Geiger tekun mengkaji Al Qur’an di dalam Universitas tua di Jerman tersebut. Kecintaan Geiger pada ilmu mengantarkannya menyelami tema-tema filologi, Syriac, Ibrani, namun sesekali ia juga menghadiri perkuliahan dalam bidang Perjanjian Lama dan arkeologi di Geidelberg.

Benih kritis Geiger, sudah tertangkap saat ia masih kecil. Kala itu Geiger sudah mulai meragukan pemahaman tradisional Yahudi ketika studinya dalam sejarah klasik menemukan bahwa ada pertentangan dalam klaim Alkitab tentang otoritas Tuhan. Selanjutnya, Geiger berhasil melakukan pembaharuan dalam agama Yahudi, dari agama doktriner, menuju dinamis dengan mengambil area sekularisme dan nilai-nilai budaya lokal (semacam kearifan lokal).

Tapi Geiger sendiri ternyata bukan seorang Rabbi tulen, ia politikus handal dengan menancapkan visi bagaimana Yahudi nanti mampu diterima di Eropa, dan klaim-klaim anti semitisme akan tersingkirkan dengan memasukkan sekulerisme ke wilayah Yahudi. Ia juga tidak murni saintis, sebab ia pernah memimpin gerakan Yahudi saat masih duduk di bangku perkuliahan pada Universitas Heidelberg.

Nah kerja-kerja yang dilakukan anak muda bernama Geiger itulah yang kini banyak diterjemahkan dan disebarkan orang modern dengan nama liberalisme. Banyak para mahasiswa muslim ikut-ikutan (kalau tidak mau disebut mem-plagiati) usaha Geiger untuk menelanjangi Agama. Ada yang menyatakan homoseksual halal, Al Qur’an tidak suci, budaya tidak boleh ditaklukan agama, bahkan mereka melakukan itu tanpa pernah bertemu muka dengan Geiger sekalipun.

Orientalisme dan Misi Politik

Menurut, Adnan M. Wizan, konstruksi studi orientalisme dalam Islam sekarang sudah semakin berkembang luas. Misi orientalisme tidak lagi berputar pada kajian-kajian Sitem Isra Mi’raj, juga bukan pula pada diskursus sistem waris (sekarang sudah mulai dilakukan oleh feminis muslim), tapi orientalisme sudah menjadi kajian ilmiah dan murni akademik, namun dengan tujuan perang wacana dan pemberangusan ideologi teologis.

Seterusnya, Wizan, dalam bukunya Akar Gerakan Orientalisme, menyatakan bahwa organisasi-organisasi politik semacam Departemen Pertahanan dan Departemen Luar negeri menjadi potret penyempurnaan yang membantu mendesain bagi peluang-peluang yang aman dan menjurus pada penghancuran Islam dan Masyarakatnya. Pernyataan tersebut dapat dilihat dengan didirikannya Fakultas Studi Ketimuran di Universitas Indiana di wilayah Bloomington Amerika. Fakultas ini secara spesifik tidak lagi obyektif mengkaji dialektika Arab, namun perkuliahan semata-mata dilaksanakan demi memuluskan misi-misi pertempuran bangsa Amerika.

Hal ini pernah dialami cendekiawan muslim yang menetap di Makkah tersebut. Niatnya untuk mendapatkan siraman yang pure akademik tentang kajian orientalisme, ternyata mengalami ganjalan. Klaim sikap objektifitas dalam mengkaji sesuatu yang selama ini didengung-dengungkan oleh Barat ternyata hanyalah isapan jempol belaka. Dengarlah curahan hatinya berikut ini:

“Kami berkeinginan mengikuti studi di Unversitas Indiana program linguistik ketika Universitas tersebut Populer pada zamannya. Kami telah mengajukan proposal pada pihak universitas, atas kehendak Allah, kami diterima dalam program studi magister. Tetapi kami keheranan karena diterima dengan bersyarat, harus mengikuti kuliah cabang-cabang linguistik dan studi ketimuran. Sudah tidak asing lagi, mayoritas mahasiswa yang mempelajari materi linguistik akan mempraktekkan perspektif lingustik, dalam bahasa induknya bukan dalam bahasa Inggris. Seseorang Arab harus mempraktekkan dalam bahasa Arab. Seorang Perancis dalam bahasa Perancis dan begitulah seterusnya. … (Pada akhirnya) Kami tidak berpartisipasi dengan hal-hal yang dapat membantu orientalisme yang wajib ditulis oleh mahasiswa untuk para dosen sebagaimana yang telah ditetapkan oleh mereka,maka kami pun enggan melakukan itu, karena kami tidak mau memerangi Islam dan Bahasa Qur’an”

Kegelisahan Wizan ini pula yang sempat melanda salah seorang mahasiswa di salah satu kampus Islam ternama di Jakarta baru-baru ini. Dalam pengakuannya kepada penulis, ia menuturkan keanehan pada ujian salah satu matakuliah S2-nya. Saat itu banyak para dosen meminta para mahasiswa menjunjung sikap obyektif dalam melihat Barat. Namun di sisi lain, sang dosen tidak memberlakukan hal sama pada materi-materi Keislaman. Mahasiswa tersebut diintruksikan untuk “menerima atau meninggalkan” fiqh klasik Imam syafi’i yang ditulis abad ke 9. Ia dituntut harus berani mengrkitik Imam Syafi’i terkait hukum-hukum fikihnya tersebut. Menariknya mahasiswa itu ternyata bukan kuliah di Fakultas Syariah, melainkan jurusan Studi Islam dan Perdamaian.

Lho apa hubungannya teks Imam Syafi’i dengan Perdamaian? Rupanya ada masalah terhadap teks selama ini yang menyebabkan persengkataan politik antara dunia Timur dan Barat tidak pernah berkesudahan. Pemahaman militansi beragama dituding banyak menghambat proses interaksi antara dunia Timur sebagai warna Islam, dengan representasi Barat yang dimainkan Yahudi.

Dosen tersebut, tidak beda dengan Montgomerry Watt, seorang pendeta sekaligus orientalis, ketika menyeru bahwa watak bangsa Arab adalah berperang dan menjadi semakin berkembang dan terorganisir ketika Nabi Muhammad SAW membawa risalahnya.

Muatan politik dalam orientalisme ternyata bukan thesis baru. Profesor H. Ismail Jakub, dalam bukunya Orientalisme dan Orientalisten (1970), menyatakan bahwa tujuan dari misi politik dalam orientalisme hanya satu, yakni:

”Melemahkan Djiwa Persaudaraan (uchuwah Islamiyyah) diantara sesama kaum muslim, baik jang sebangsa, atau dari berbagai angsa. Tjaranya diantara lain, ialah dihidupkan semangat golongan jang ada sebelum Islam. Dan mengorbankan perbedaan dan perpetjahan di antara golongan-golongan kaum muslimin”

Apa yang dikatakan Profesor Ismail, hampir mirip dengan maksud Geiger dengan menggunting orisnilitas Islam dengan sisipan hegemoni Barat. Bedanya, Guru Besar IAIN Sunan Ampel tersebut kemudian menyatakan bahwa sisipan nilai-nilai Romawi menjadi rujukan para orientalis untuk menjelaskn dari mana ajaran Islam berasal.

Geopolitik Islam dan Zionisme

Keniscayaan politis ini membuat gerakan konspirasi melibatkan beberepa elemen fital dari kajian ketimuran. Perangkat segala aspek dalam Islam, seperti sosial, budaya, dan sejarah menjadi satu paket dalam misi-misi Zionisme ketika menginflitrasi Islam.

Alhasil, selangkah lebih maju dari diskusi ini, Edward Said dalam bukunya Orientalism (1978) akhirnya menuding bukan saja bermuatan politik, tapi orientalisme sudah mengandung sisi geopolitik dengan melibatkan berbagai hal seperti, naskah-naskah estetika, keilmuan, ekonomi, sosiologi, sejarah, dan filologi untuk melihat seluruh lapisan Islam. Siapakah yang bermain dibalik ini semua? Said mengatakan saham paling besar ada di tridente, Inggris-Prancis-Amerika. Adnan Wizan melihat orientalisme Perancis, Jerman, Italia, Spanyol, Inggris, AS, Uni Soviet.

Tapi terlepas dari jumlah mereka, semuanya digerakkan oleh satu aktor sama: Yahudi. Dan disatukan oleh satu misi yang sama: menghancurkan Islam. Kenapa? Meminjam, narasi Said, karena sampai dengan abad 21 ini, bagi orang Eropa, Timur memang merupakan kawasan dengan sejarah kontinuitas demonansi Barat yang tak tertumbangkan.

Tak pelak lagi, dalam berbagai hal, Islam adalah provokasi nyata!

Oleh karena itu, nanti kita akan melihat mengapa para founding father Negara Israel, ternyata adalah para akademis. Mereka ternyata dosen sekaligus zionis. Mereka hafal dunia Arab dari mulai hal yang kecil sampai yang paling besar. Bahasa Arab mereka bahkan bisa lebih pandai dari kita. Bacaan Qur’an mereka fasih bagai imam shalat di Madinah.


Tuduhan Keji Al Qur'an Diambil Dari Apokrifa

Berbicara mengenai studi orientalisme tidak bisa terlepas pada motif politik kaum zionisme. Orientalisme dan misi-misi zionisme bagai dua sisi mata uang yang saling tersambung.

Kebencian kaum Yahudi dalam upayanya menaklukan Islam membuat mereka berpikir sangat panjang dan mendalam. Eksesnya wilayah kajian adalah cara empuk untuk mempreteli Islam satu demi satu.

Implikasi Politis dari Corak Kajian Orientalisme

Namun kendalanya, tidak jarang motif ini tertutup serapat mungkin. Orientalisme seakan-akan tampil manis dengan menyatakan diri terbebas pada misi apapun. Padahal sekalipun thesis itu benar, cepat atau lambat kajian orientalisme pasti akan berimplikasi politis.

Sebab dengan meninggalkan sisi tauhid dalam mengkaji Islam dengan dalih objektifitas, hal ini akan menjalar pada keseluruhan konsep Islam, termasuk pandangan Islam terhadap politik, relasi Islam terhadap Negara, relasi Islam terhadap kuasa, dan tak terkecuali cara pandang Islam terhadap non muslim.

Josef Von Hammer Purgstall (1774-1856) digadang-gadangkan sebagai peletak pertama corak kajian orientalisme seperti ini. Sarjana lulusan Vienna Oriental Academy ini terkenal atas kehebatannya sebagai dragoman atau ahli dalam menerjemahkan bahasa dan literatur Arab, Turki, dan Persia. Purgstall tercatat pernah berkiprah pada misi diplomatik pada tahun 1796 dan diangkat sebagai diplomat kedutaan Austria di Konstantinopel pada tahun 1799.

Crone Briton dalam catatan berjudul Romanticisme yang dimuat pada Encyclopedia of Philosophy (1972), menjelaskan ada beberapa ciri implikasi politik dari kajian orientalisme selama ini.

Sikap orientalisme yang negatif memandang Timur akan mengakibatkan bukan saja ketegangan masa silam antara Islam dan Yahudi, namun juga aroma kental konflik Islam dalam Perang Salib. Blunder ini setidaknya menurut Briton akan menekankan pada dua aspek berupa sikap kesewenang-wenangan sekaligus sikap konservatif.

Dengan menggambarkan Islam dalam imej negatif, para orientalis mengharapkan bahwa kelak akan timbul keraguan umat Islam terhadap agamanya dan dengan begitu Barat akan masuk untuk semakin memperkokoh kedudukan agama mereka atas Islam.

Muhammad Al Bahiy, seperti dikutip oleh Mohammad Natsir Mahmudi dalam bukunya Orientalisme Al Qur’an di Mata Barat, mengemukakan dua motivasi para orientalisme yang terkait erat pada misi politis.

Pertama, tidak terlepas pada dominasi untuk memperkokoh Imperialisme Barat atas Negara-negara Islam. Kedua, memperkuat semangat perang salib dengan mengatasnamakan kajian Ilmiah dan kemanusiaan.

Sejalan dengan itu, Tibawi kemudian menyederhanakan persoalan itu semua dengan menyebut nama kepentingan imperialisme sebagai muara dari kajian orientalisme semata-mata agar kelak Islam tunduk pada dominasi Barat.

Dari Kongres 1911 Sampai Tuduhan Al Qur’an Bersandar Pada Apokrifa

Ada sederetan nama para orientalis yang sangat terkait pada misi zionisme. Mereka-mereka memiliki reputasi dalam melucuti ajaran Islam sehelai demi sehelai.

Nama Orientalis Yahudi yang terhubung dalam melakukan misi itu salah satunya diemban oleh Gustave Von Grunebaum (1909-1972). Ketika Nazi Jerman datang ke Austria di tahun 1938, ia pergi ke Amerika Serikat.

Di AS dia mendapatkan posisi di Institut Asia di New York di bawah Arthur Upham Paus. Pada tahun 1943, ia pergi ke Universitas California, dan menjadi profesor bahasa Arab pada tahun 1949. Selanjutnya pada tahun 1957, ia menjadi profesor Sejarah Timur Dekat.

Pada seluruh karangannya terlihat gejolak permusuhan terpampang nyata terhadap prinsip-prinsip ajaran Islam, diantaranya ia pernah menulis:

1. Islam Abad Pertengahan, terbit pada tahun 1946. 2. Hari-hari Raya Muhammad, terbit tahun 1951. 3. Usaha-usaha menjelaskan Islam Modern, terbit pada tahun 1947. 4. Studi-studi tentang Sejarah Kebudayaan Isalm terbit tahun 1954, dan 5. Kesatuan dan Keberagamaan dalam Peradaban Islam terbit pada tahun 1955.

Selain itu ada nama Samuel Zwemmer. Tentu kita tidak lupa tokoh ini. Zwemer-lah yang menggebu-gebu mengatakan dalam Persidangan Misi Zionis di Jerusalem pada 1935 terkiat taktik melumpuhkan Islam. Ia berkata,

“Misi utama kita bukanlah menjadikan orang-orang Islam bertukar agama menjadi Kristian atau Yahudi, tetapi cukuplah dengan menjauhkan mereka dari Islam...Kita jadikan mereka sebagai generasi muda Islam yang jauh dari Islam, malas bekerja (untuk Islam), suka berfoya-foya, senang dengan segala kemaksiatan, memburu kenikmatan hidup dan orientasi hidupnya semata-mata untuk menuaskan hawa nafsunya...”.

Zwemmer terkenal sebagai orientalis yang senantiasa menancapkan permusuhannya terhadap Islam. Ia pernah terlibat dalam mendirikan majalah Al Islam Tahadda lil Aqidatain pada tahun 1908 yang tidak lain sebuah majalah corong zionisme dalam melemahkan Islam ini terbit pada awal-awal abad 20.

Zwemmer pula yang menerbitkan buku berjudul Al Islam. Buku ini berisikan makalah-makalahnya yang dipersiapkan untuk muktamar misionaris kedua tahun 1911 di Lucknow, India. Menariknya, setelah muktamar itu, semua peserta mendapat sebuah plak sebagai cenderamata.

Pada satu muka plak itu tertulis: "Kenang kenangan dari Lucknow tahun 1911 ". Pada muka sebelahnya pula tertulis: "Ya Tuhan! Dunia lslam bersujud kepada-Nya lima kali dalam sehari semalam penuh khusuk. Pandanglah orang-orang lslam itu dengan penuh kasih. llhamilah mereka berkat kedamaian Jesus Christ."

Akhirnya, untuk menghargai usaha-usaha Samuel Zwemmer, sampai-sampai warga Amerika mendirikan studi teologi dan persiapan menjadi misonaris dengan mengambil namanya.

Selain itu ada pula Abraham I. Katsch (1908-1998). Ia adalah direktur Institute of Hebrew Studies di Universitas New York. Ia juga terkenal gigih dalam mengkaji Islam. Selama berhari-hari ia sangat telaten dalam menelusuri sumber-sumber keIslaman. Ia juga memperdalam gramatika Qur’an mengingat bidangnya selama ini berada pada wilayah studi Bahasa Ibrani.

Hasil dari kegigihannya melunturkan dominasi keilmuan Islam, akhirnya membuahkan hasil. Ia menelurkan karya monumentalnya di bidang studi Islam lewat sebuah buku kontroversial berjudul ‘Judaisme and Koran’ (Yahudi dan Al Qur’an) yang terbit tahun 1943 di Dropise College of Hebrew.

Buku ini kemudian menjadi titik tolak permusuhannya terhadap Islam. Ia menyatakan persetujuannya terhadap thesis Abraham Geiger bahwa Al Qur’an tidak lain hanyalah hasil colongan dan curian dari Yahudi. Dengan tegas Katsch mengungkapkan,

"Muhammad, borrowed extensively from Jewish sources. He was fully aware of the Importance of the jewish religion and leaned heavly upon it. He used all sources, the bible, the Talmud, as well as the Apocrypha."

Katsch menyatakan alasan dibalik sikap Muhammad meniru kitab suci Yahudi didasari oleh sikap Muhammad sendiri yang tidak pernah menyatakan diri akan mendirikan sebuah agama baru.

Bagi Katsch, Muhammad tidak pernah berusaha membatalkan Perjanjian lama dan Baru melainkan hanya sekedar mengangkatnya dalam sebuah kitab suci baru bernama Al Qur’an. Kastch sendiri menyandarkan pendapatnya tidak lain pada dua surat dalam Al Qur’an yaitu surat Al Baqarah dan Ali Imran.

Katsch juga menuding bahwa Nabi Muhammad mengambil rujukan Kitab Apokrifa sebagai rujukan Al Qur’an. Jika ada yang belum kenal mengenai kitab ini, Apokrifa tidak lain sejumlah kitab suci yang tidak dimasukan dalam bibel Protestan karena asal-usulnya diyakini sudah tidak lagi asli. Kitab-kitab Apokrifa terutama sekali mencakup Kitab-Kitab Perjanjian Lama yang dimasukan dalam Alkitab Katolik Roma.

Dari upaya-upayanya melakukan dekonstruksi Islam, Katsch tercatat dalam melobi pemerintahan Uni Soviet untuk memperbanyak ribuan dokumen Yahudi yang sempat ditahan oleh fihak Uni Soviet selama perang dingin. (pz/bersambung)


Demokrasi dan Matinya Agama
Imbas dari hegemoni orientalisme dan gerakan mereka dalam bidang politik juga menjalar ke dunia Islam. Kita masih ingat bagaimana kaum liberal mendekatkan fahamnya dengan kekuasaan, dari mulai berkiprah di partai politik sampai berupaya menjebolkan misinya lewat jalur undang-undang. Adalah omong kosong jika organisasi seperti Jaringan Islam Liberal, hanya berdalih ingin memisahkan Islam dari Negara. Klaim-klaim kajian liberalisasi Islam murni itikad tanpa tendensi politik patut dipertanyakan. Sebab dalam faktanya, tidak ada ideologi zionis apapun yang mampu menunjang peradaban tanpa ditopang relasi kuasa. Baik itu demokrasi, komunisme, kapitalisme dan lain sebagainya.

Uniknya, berbeda dengan ideologi Islam, ideologi zionisme selalu didirikan lewat serangkain aksi manipulasi, tipudaya, dan juga rekayasa. Ini amat dimungkinkan, karena tidak ada patokan benar dan salah secara tetap. Mereka didesakkan oleh faktor kebencian dan menjadikan kepentingan lebih utama daripada segalanya. Kita masih ingat bagaimana komunisme memecah Syarikat Islam (SI) menjadi dua warna antara putih dan merah. Adalah Ordo Illuminati berjubah Komunis yang disebut-sebut Ad El Marzdedeq dalam bukunya “Freemasonry Melanda Dunia Islam” (1993) secara diam-diam bergerilya ke SI dan berhasil mengkader Semaoen dan Darsono.

Demokrasi Politik dan Ilusi Zionis

Setelah Abad Pertengahan gagal membangun kekuatan, Barat selalu berupaya mencari formulasi pengganti. Dominasi gereja dalam abad pertengahan dianggap menahan laju ilmu dan kebebasan manusia-manusia. Inilah yang kemudian membuat teologi abad pertengahan hancur dan kemudian Barat memunculkan nama baru berupa modernisasi lewat aksi renaisans.

Modernisasi kemudian diisukan sebagai akhir dari penantian selama ini. Mereka menyebut modernisasi adalah edisi pamungkas dari sejarah pencarian Barat terhadap Peradaban dimana keran ilmu pengetahuan mengalir deras mengucur membasahi setelah sebelumnya ditahan klaim Kristen.

Namun uniknya, ditengah secercah harapan atas laju kehidupan yang dicita-citakan itu, modernisasi juga tidak mampu membuat perubahan secara lama. Konsep kebenaran dalam modernisasi yang tidak sesuai perkembangan zaman lagi, membuat Barat merevisi faham mereka dan kemudian menggantinya dengan postmodernisme. Dalam postmodernisme, tidak ada lagi kebenaran pasti, semuanya menjadi relatif. Benar secara agama, belum tentu benar di Masyarakat. Bahkan kebenaran agama bisa dibatalkan oleh mufakat. Nah di titik inilah para orientalis menggam-gemborkan Demokrasi di dunia Islam.

Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History and The Last Man nyaris meniru peralihan sistem dari mulai abad pertengahan sampai dominasi postmodernisme. Orientalis keturunan Jepang itu mengatakan demokrasi adalah sistem terbaik dan pemenang ketika komunisme Soviet tumbang.

Padahal dalam perkembangannya, demokrasi penuh dengan dosa. Seperti dikutip Farid Wajdi, pengkritik Demokrasi seperti Gatano Masco, Clfrede Pareto, dan Robert Michels cenderung melihat demokrasi sebagai topeng ideologis yang melindungi tirani minoritas atas mayoritas. Dalam praktiknya, yang berkuasa adalah sekelompok kecil atas kelompok besar (Ilusi Negara Demokrasi: Al Azhar Press 2009)

Konteks tirani minoritas atas mayoritas inilah apa yang kita sebut sebagai permainan Zionis dalam mencengkaram umat saat ini. Kaum Zionis, yang disebut Paul Findley, memiki masa tak lebih dari angka 20 juta, mampu menguasai lobi-lobi, tidak hanya di Amerika, tapi juga Negara muslim lainnya.

Kita masih ingat kasus Mesir. Isu-isu yang dihembuskan para orientalis dan zionis tentang cita-cita demokrasi sebagai prasyarat Negara maju sudah bermain sejak lama jauh sebelum Revolusi Timur Tengah melanda. Freedom House, misalnya, lembaga mantel zionis ini aktif menyebarkan keniscyaan demokrasi sebagai ideologi yang kelak sebagai “pilihan terakhir” bagi rakyat Mesir.

Freedom House sendiri berawal ketika Wendell Willkie, Eleanor Roosevelt, George Field, Dorothy Thompson, Herbert Bayard Swope bersatu untuk menentang paham Nazi. Pada tahun 1940-an, Freedom House mendukung Marshall Plan dan pendirian NATO yang kini tercatat sebagai salah satu kekuatan zionis dalam meluluhlantahkan Libya. Sedangkan pada tahun-tahun 1950-1960-an mereka sudah terlibat akfif dalam mendukung gerakan hak asasi manusia di AS.

Selain nama Freedom House, nama lain yang menjadi penggerak demokratisasi di Negara-negara muslim adalah National Endowment For Democracy (NED). NED sendiri adalah sebuah yayasan swasta nirlaba yang berbasis di Amerika Serikat. Ia berfungsi untuk memberikan hibah dalam rangka mendukung proyek-proyek LSM di seluruh dunia untuk pertumbuhan dan penguatan lembaga-lembaga demokratis.

Yayasan ini didirikan pada tahun 1983 dan menyediakan lebih dari 1000 dana bantuan per tahun untuk LSM dalam rangka mempromosikan demokrasi di lebih dari 90 negara. Tidak hanya itu, NED juga tercatat aktif dalam menawarkan beasiswa dan melakukan penelitian dan pertukaran internasional bagi para aktivis demokrasi, hak asasi manusia advokat, jurnalis, dosen dan peneliti.

Demokrasi dan Matinya Agama: Ujung Dari Protocol of Zion

Sebelum NED dan Freedom House mendefinisikan apa yang disebut standar negara sukses dengan demokrasinya di Timur Tengah, Steve Bruce lewat bukunya “God is Dead: Secularization in West” (Blackwell: 2002) menguraikan perihal karakteristik negara modern. Seperti dikutip oleh Syamsudin Arif, Bruce sebagai sosiolog agama kemudian menerjemahkannya pada tiga ciri.

Pertama, adanya diferensiasi fungsi dan struktur sosial, ditandai dengan munculnya sistem birokrasi dan profesionalisme, menggantikan hirarki, dominasi dan pretensi kelompok tertentu. Namun Bruce memberi syarat khusus bahwa hal ini akan sukses ketika dibarengi oleh maraknya tren Pluralisme Agama dan relativisme bahwa tidak ada lagi kebenaran tunggal dalam monopoli kebenaran.

Kedua, lahirnya privatisasi agama sebagai konsekuensi dari kehidupan yang lebih terorganisir dan terjamin, sehingga agama dirasakan tidak lagi relevan jika tidak berpengaruh sama sekali dalam konteks sosial. Agama hanya menjadi lahan privat dan pribadi tanpa diperbolehkan ikut campur dalam masalah agama. Ucapan Bruce ini kemudian bisa kita paralelkan dengan statement Ulil tentang Ahmadiyah.

Ketiga, bagi Bruce, Negara harus memberi ruang untuk masuknya rasionalisasi dimana sains tampil dominan menggantikan mitologi, mistisisme, dan sihir. (Kemodernan, Sekularisasi, dan Agama: Jurnal Islamia 2007)

Pertanyaannya, apakah yang sebenarnya didefinisikan mistisme dan mitologi dalam termin Bruce? Jawabannya sudah terlebih dahulu diambil oleh August Comte, seorang Yahudi konspiratif yang menaruh konsentrasi untuk meruntuhkan Khilafah Islamiyah dan kemudian terlaksana pada tahun 1924 oleh Kemal Ataturk.

August Comte menggariskan bahwa perkembangan pemikiran manusia terdiri atas tiga tahapan yaitu Tahap Teologik, tahap metafisik, dan kemudian mencapai titik akhir pada tahap positif. Menariknya Comte mendefiniskan zaman penuh kelam, hancur, dan tidak keruan ketika zaman teologik atau agama tampil dominan menguasai sendi kehidupan.

Sebaliknya zaman positif, menurut maksud Comte adalah zaman penuh kemajuan karena orang berusaha untuk menemukan hukum segala sesuatu dari berbagi eksperimen yang akhirnya menghasilan fakta-fakta ilmiah, yang terbukti dan dapat dipertanggung jawabkan. Dan bagi Comte, hal itu tidak bisa terjadi ketika agama turut campur dalam kehidupan. Rupanya perkataan Comte inilah yang serupa di Protocol of Zion nomor 5:

“Ada suatu langkah yang mampu membikin opini umum, yaitu kita harus mengajukan berbagai pandangan yang dapat menggoyahkan keyakinan-keyakinan sebelumnya yang sudah tertanam di hati dan pikiran masyarakat. Kalau usaha ini belum mendapatkan perhatian, maka masyarakat harus diberikan pandangan lagi yang secara sosial dapat diterima.

Dengan cara ini, keyakinan lama yang sudah tertanam di hati manusia akan tergoyahkan, dan pada akhirnya akan tumbang, lantaran terdepak oleh perkembangan zaman. Pada akhirnya pendapat dan pandangan yang tidak searah dengan tujuan Yahudi akan musnah, dan di dunia akan jatuh ke dalam perangkap kesesatan.”

Dan doktrin Comte ini menjalar ke seluruh dunia Islam, mulai dari Asia hingga Afrika. Makanya ketika kasus Ahmadiyah meneyeruak, Ulil meminta Negara tidak boleh ikut campur, karena agama wilayah privat dan tidak boleh terjadi relasi kuasa disana. Menariknya Ulil justru kini masuk ke Partai Politik dan memperjuangkan pengesahan pemikiran-pemikiran nyelenehnya tentang Islam lewat jalur undang-undang.

Namun apakah kaum liberalis masuk ke wilayah politik untuk mengangkat agama? Jawabannya tidak, karena mereka ingin “membunuh” agama seperti lonceng kematian Tuhan yang bergema di seluruh Eropa dan Amerika setelah Frederich Nietszche memploklamirkannya. Dan kita tidak perlu berperang dengan mereka di sana, karena justru demokrasi lah yang sebenarnya membuka peluang untuk liberalisasi. Karena benar dan salah bukan lagi milik Allah. (Pz)