visi

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (QS An Nahl [16]:97).



Monday, July 25, 2011

Buktikan Diri sbg MUSLIM di hadapan Allah SWT

Seorang muslim perlu selalu melakukan muhasabah (introspeksi). Terutama ia harus periksa adakah dirinya telah memenuhi kriteria seorang beriman sejati? Dan untuk itu ia mesti membuktikan bahwa dirinya merupakan seorang muslim di hadapan Allah سبحانه و تعالى . Bukan di hadapan manusia lainnya. Muslim-mukmin sejati pasti mengharapkan pengakuan dari Allah سبحانه و تعالى bukan dari sesama manusia, bahkan bukan pengakuan dari dirinya sendiri.

Di dalam bukunya, Anshari Ismail menulis sebagai berikut:

“Yang perlu kita lakukan hanyalah membuktikan diri bahwa kita ini seorang muslim. Muslim yang dikehendaki oleh Allah سبحانه و تعالى , bukan muslim yang kita kira sendiri. Karena kita adalah hamba Allah سبحانه و تعالى bukan hamba diri sendiri. Karena kita mengharap ridha Allah سبحانه و تعالى bukan ridha diri sendiri. Oleh karena itu, untuk membuktikan bahwa kita seorang muslim, maka kita harus ber-Islam dengan caranya Allah سبحانه و تعالى bukan dengan cara kita sendiri. Tetapi bagaimana ber-Islam dengan cara Allah سبحانه و تعالى ?” (“Jalan Islam-Transformasi Akidah dalam Kehidupan” – Anshari Ismail - AnNur Books Publishing 2008 – hlm 7)

Dewasa ini, tidak sedikit kaum muslimin yang ber-islam menurut kemauannya sendiri atau kemauan orang lain. Sehingga ia membuat kriteria sendiri siapa yang disebut muslim. Dan karena kriteria itu adalah buatannya sendiri, maka cenderung disesuaikan dengan keinginan pribadi. Misalnya, dia menganggap dirinya muslim bila sudah mengucapkan dua kalimat syahadat, tanpa memandang perlu memahami konsekuensinya. Dia kira hanya dengan sudah mengucapkan secara lisan dua kalimat syahadat berarti seseorang sudah pasti terpelihara dari api neraka dan masuk surga. Dia berlindung di balik hadits seperti:

مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Barangsiapa yang mengucapkan: “Tidak ada ilah (yang berhak disembah) selain Allah” (laa ilaaha illa Allah), niscaya dia masuk surga.” (Tirmidzi 2562) Shahih

Sedangkan Syaikh Abu Abdurrahman Al-Atsari menulis sebagai berikut:

“Ada pula beberapa hadits yang serupa. Banyak dari mereka menganggap bahwa mengucapkan dua kalimat syahadat sudah cukup menetapkan sifat Islam dan berhak masuk surga meskipun tidak mengerjakan sholat, melakukan perbuatan mungkar, menghina Allah سبحانه و تعالى RasulNya صلى الله عليه و سلم dan ayat-ayatNya, menyekutukan Allah سبحانه و تعالى dengan sesuatu yang tidak mempunyai kekuasaan, memberikan loyalitas kepada musuh-musuh Allah سبحانه و تعالى dari kalangan Yahudi dan Nasrani serta orang-orang komunis, menerapkan hukum-hukum kafir, UUD jahiliyah bagi manusia, melarang sebagian aturan-aturan Islam dan memeranginya, seperti jihad fii sabilillah, sebagaimana yang terjadi di negeri kaum muslimin hari ini. Jelas itu hanya terjadi pada orang bodoh atau orang pandir yang membela para thaghut, yang tumbuh sejak kecil hingga tua di atas aturan itu...” (“Al-Haqq wal-Yaqin fi ‘Adawat At-Tughat wal-Murtaddin” – Abu Abdurrahman Al-Atsari – media Islamika 2009 – hlm 17)

Mengucapkan dua kalimat syahadat memang merupakan bentuk resmi seseorang dikatakan memeluk agama Islam, namun sekadar mengucapkannya tidak serta-merta menjadikan seseorang menjadi mukmin sejati. Ia perlu membuktikan dirinya melalui berbagai pengalaman di dalam hidupnya agar jelas terlihat bahwa antara ucapan di lisan, pembenaran di dalam hati dan pembuktian dengan segenap anggota tubuh ada keselarasan dan hilanglah pertentangan antara satu bagian dengan bagian lainnya. Semua itu perlu didukung dengan ilmu dan amal. Oleh karenanya Allah سبحانه و تعالى berfirman bahwa setiap orang yang mengaku muslim perlu diuji agar jelas apakah pengakuannya jujur atau dusta.

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَ وَلَقَدْ فَتَنَّا

الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS Al-Ankabut 2-3)

Seorang muslim pasti mengalami aneka ujian dari Allah سبحانه و تعالى . Terkadang ujian berupa kesulitan dan terkadang berupa kesenangan. Semua ujian tersebut dimaksudkan untuk menyingkap jenis muslim seperti apakah diri kita masing-masing. Apakah kita termasuk seorang muslim jujur, yang berarti masuk ke dalam kelompok mukmin sejati. Inilah di antaranya golongan yang digambarkan Allah سبحانه و تعالى di dalam surah Al-Kahfi:

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَانَتْ لَهُمْ

جَنَّاتُ الْفِرْدَوْسِ نُزُلا خَالِدِينَ فِيهَا لا يَبْغُونَ عَنْهَا حِوَلا

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal, mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah daripadanya.” (QS Al-Kahfi 107-108)

Ataukah termasuk jenis muslim pendusta. Dan jika termasuk pendusta, maka ia dapat masuk ke dalam kelompok munafiqun yang digambarkan Allah سبحانه و تعالى seperti berikut:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ

يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ

“Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian", padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, pada hal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.” (QS Al-Baqarah 8-9)

Di samping itu, seorang muslim pendusta bisa masuk ke dalam golongan musyrikin yakni orang-orang yang mempersekutukan Allah سبحانه و تعالى .

وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلا وَهُمْ مُشْرِكُونَ

“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS Yusuf 106)

Ada lagi kemungkin ketiga yaitu seorang muslim pendusta masuk ke dalam golongan kaum murtaddun (orang-orang yang murtad). Dia divonis keluar dari Islam karena telah melakukan pelanggaran yang termasuk kategori nawaqidh al-iman (pembatal keislaman).

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ

وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَلا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ

“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: "Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja". Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?" Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.” (QS At-taubah 65-66)

Muslim pendusta yang masuk ke dalam golongan munafiqun, musyrikun maupun murtaddun merupakan golongan yang sungguh merugi. Sebab mereka pada hakikatnya tidak bisa disebut orang beriman. Mereka bakal kekal selamanya di dalam neraka.

Mengenai kaum munafiq Allah سبحانه و تعالى bakal menempatkan mereka di dalam neraka yang paling buruk siksaannya:

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الأسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka.” (QS An-Nisa 145)

Sedangkan kaum musyrikin Allah سبحانه و تعالى jelaskan keadaan mereka sebagai orang-orang yang tidak diterima segenap amal yang telah mereka kerjakan, betapapun banyaknya kebaikan, amal sholeh maupun amal ibadah yang telah dikerjakannya.

لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Sungguh, bila kamu berbuat syirik, niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS Az Zumar 65)

Adapun kaum murtaddin, maka mereka menjadi sama kedudukannya dengan orang kafir. Sebab mereka rela meninggalkan iman dan malah memilih untuk menjadi kafir. Allah سبحانه و تعالى menggambarkan mereka sebagai berikut:

وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ

أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

“Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS Al-Baqarah 217)

Oleh karenanya di dalam sejarah Islam terdapat banyak contoh dimana Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم dan para sahabat utama memperlakukan orang yang secara status muslim namun diperlakukan sebagai orang di luar Islam. Orang-orang itu mengucapkan dua kalimat syahadat. Namun mereka telah dinilai keluar dari agama Islam karena terlibat dalam pelanggaran yang dikategorikan sebagai nawaqidh al-iman (pembatal keislaman).

Salah satunya ialah yang dijelaskan oleh Ibnu Katsir di dalam kitab Tafsirnya ketika membahas surah An-Nisa ayat 65:

“Dua orang lelaki yang berselisih datang menemui Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم lalu beliau memutuskan tidak bersalah kepada fihak yang benar di atas fihak yang salah. Fihak yang diputuskan bersalah tidak mau menerima dan berkata kepadanya: “Saya tidak terima!” Kemudian yang satunya bertanya: “Lalu apa maumu?” Ia menjawab: “Kita pergi ke Abu Bakar Ash-Shiddiq!” Merekapun pergi. Orang yang diberi keputusan tidak bersalah berkata kepada Abu Bakar: “Kami telah mencari keadilan kepada Nabi صلى الله عليه و سلم lalu aku diberi keputusan tidak bersalah.” Abu Bakar lalu berkata kepadanya: “Kamu berdua harus menerima apa yang telah diputuskan oleh Rasulullah صلى الله عليه و سلم .” Akan tetapi yang satunya tidak mau menerima. Keduanya kemudian menemui Umar bin Khattab, lalu orang yang diberi keputusan tidak bersalah berkata: “Kami telah mencari keadilan kepada Nabi صلى الله عليه و سلم lalu aku diberi keputusan tidak bersalah tetapi yang satunya tidak mau menerima.” Mendengar permasalahan ini lalu Umar bertanya kepadanya dan dijawab benar adanya. Umar kemudian masuk dan pergi lagi membawa pedang terhunus di tangannya. Lalu orang yang tidak mau menerima keputusan Rasulullah صلى الله عليه و سلم tersebut ditebas lehernya..!” Maka turunlah ayat sebagai berikut:

فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ

ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS An-Nisa 65)

Subhanallah...! Sungguh luar biasa firasat Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Beliau dapat mendeteksi kekafiran di dalam diri orang yang tidak kunjung dapat menerima keputusan yang telah diambil oleh Rasulullah صلى الله عليه و سلم padahal telah dikonfirmasi kebenarannya pula oleh sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Bayangkan, Allah سبحانه و تعالى memerlukan untuk bersumpah atas nama diri-Nya sebagai Rabb. Allah سبحانه و تعالى berfirman mengawali ayat di atas dengan firmanNya: “Maka demi Rabbmu”. Artinya, Allah سبحانه و تعالى sangat serius ingin menjelaskan raibnya iman pada diri seorang yang mengaku muslim namun ia (1) tetap enggan menjadikan Rasulullah صلى الله عليه و سلم sebagai hakim, lalu (2) tetap merasa keberatan dalam hatinya terhadap keputusan Rasulullah صلى الله عليه و سلم dan (3) tidak menerima dengan sepenuhnya keputusan Rasulullah صلى الله عليه و سلم tersebut.

Kejadian di atas merupakan satu saja dari sekian banyak contoh generasi awal ummat Islam yang tidak mudah terkecoh menilai seseorang sebagai muslim hanya dengan mengandalkan bahwa orang tersebut telah mengucapkan secara lisan dua kalimat syahadat.

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ

“Wahai (Allah) Dzat yang membolak balikkan hati teguhkanlah hatiku berada di atas agamamu.” (Tirmidzi - 2066) Shahih



KEMATIAN HATI

Banyak orang tertawa tanpa (mau) menyadari sang maut sedang mengintainya. Banyak orang cepat datang ke shaf shalat laiknya orang yang amat merindukan kekasih. Sayang ternyata ia datang tergesa-gesa hanya agar dapat segera pergi. Seperti penagih hutang yang kejam ia perlakukan Tuhannya. Ada yang datang sekedar memenuhi tugas rutin mesin agama. Dingin, kering dan hampa, tanpa penghayatan. Hilang tak dicari, ada tak disyukuri.

Dari jahil engkau disuruh berilmu dan tak ada idzin untuk berhenti hanya pada ilmu. Engkau dituntut beramal dengan ilmu yang ALLAH berikan. Tanpa itu alangkah besar kemurkaan ALLAH atasmu. Tersanjungkah engkau yang pandai bercakap tentang keheningan senyap ditingkah rintih istighfar, kecupak air wudlu di dingin malam, lapar perut karena shiam atau kedalaman munajat dalam rakaat-rakaat panjang.

Tersanjungkah engkau dengan licin lidahmu bertutur, sementara dalam hatimu tak ada apa-apa. Kau kunyah mitos pemberian masyarakat dan sangka baik orang-orang berhati jernih, bahwa engkau adalah seorang saleh, alim, abid lagi mujahid, lalu puas meyakini itu tanpa rasa ngeri. Asshiddiq Abu Bakar Ra. selalu gemetar saat dipuji orang. “Ya ALLAH, jadikan diriku lebih baik daripada sangkaan mereka, janganlah Engkau hukum aku karena ucapan mereka dan ampunilah daku lantaran ketidaktahuan mereka”, ucapnya lirih.

Ada orang bekerja keras dengan mengorbankan begitu banyak harta dan dana, lalu ia lupakan semua itu dan tak pernah mengenangnya lagi. Ada orang beramal besar dan selalu mengingat-ingatnya, bahkan sebagian menyebut-nyebutnya. Ada orang beramal sedikit dan mengklaim amalnya sangat banyak. Dan ada orang yang sama sekali tak pernah beramal, lalu merasa banyak amal dan menyalahkan orang yang beramal, karena kekurangan atau ketidaksesuaian amal mereka dengan lamunan pribadinya, atau tidak mau kalah dan tertinggal di belakang para pejuang. Mereka telah menukar kerja dengan kata. Dimana kau letakkan dirimu?

Saat kecil, engkau begitu takut gelap, suara dan segala yang asing. Begitu kerap engkau bergetar dan takut. Sesudah pengalaman dan ilmu makin bertambah, engkaupun berani tampil di depan seorang kaisar tanpa rasa gentar. Semua sudah jadi biasa, tanpa rasa.

Telah berapa hari engkau hidup dalam lumpur yang membunuh hatimu sehingga getarannya tak terasa lagi saat ma’siat menggodamu dan engkau meni’matinya? Malam-malam berharga berlalu tanpa satu rakaatpun kau kerjakan. Usia berkurang banyak tanpa jenjang kedewasaan ruhani meninggi. Rasa malu kepada ALLAH, dimana kau kubur dia?

Di luar sana rasa malu tak punya harga. Mereka jual diri secara terbuka lewat layar kaca, sampul majalah atau bahkan melalui penawaran langsung. Ini potret negerimu : 228.000 remaja mengidap putau. Dari 1500 responden usia SMP & SMU, 25 % mengaku telah berzina dan hampir separohnya setuju remaja berhubungan seks di luar nikah asal jangan dengan perkosaan.

Mungkin engkau mulai berfikir “Jamaklah, bila aku main mata dengan aktifis perempuan bila engkau laki-laki atau sebaliknya di celah-celah rapat atau berdialog dalam jarak sangat dekat atau bertelepon dengan menambah waktu yang tak kauperlukan sekedar melepas kejenuhan dengan canda jarak jauh” Betapa jamaknya ‘dosa kecil’ itu dalam hatimu. Kemana getarannya yang gelisah dan terluka dulu, saat “TV Thaghut” menyiarkan segala “kesombongan jahiliyah dan maksiat”?

Saat engkau muntah melihat laki-laki (banci) berpakaian perempuan, karena kau sangat mendukung ustadzmu yang mengatakan “Jika ALLAH melaknat laki-laki berbusana perempuan dan perempuan berpakaian laki-laki, apa tertawa riang menonton akting mereka tidak dilaknat ?”

Ataukah taqwa berlaku saat berkumpul bersama, lalu yang berteriak paling lantang “Ini tidak islami” berarti ia paling islami, sesudah itu urusan tinggallah antara engkau dengan dirimu, tak ada ALLAH disana?

Sekarang kau telah jadi kader hebat. Tidak lagi malu-malu tampil. Justeru engkau akan dihadang tantangan: sangat malu untuk menahan tanganmu dari jabatan tangan lembut lawan jenismu yang muda dan segar. Hati yang berbunga-bunga didepan ribuan massa. Semua gerak harus ditakar dan jadilah pertimbanganmu tergadai pada kesukaan atau kebencian orang, walaupun harus mengorbankan nilai terbaik yang kau miliki.

Lupakah engkau, jika bidikanmu ke sasaran tembak meleset 1 milimeter, maka pada jarak 300 meter dia tidak melenceng 1 milimeter lagi ? Begitu jauhnya inhiraf di kalangan awam, sedikit banyak karena para elitenya telah salah melangkah lebih dulu. Siapa yang mau menghormati ummat yang “kiayi”nya membayar beberapa ratus ribu kepada seorang perempuan yang beberapa menit sebelumnya ia setubuhi di sebuah kamar hotel berbintang, lalu dengan enteng mengatakan “Itu maharku, ALLAH waliku dan malaikat itu saksiku” dan sesudah itu segalanya selesai, berlalu tanpa rasa bersalah?

Siapa yang akan memandang ummat yang da’inya berpose lekat dengan seorang perempuan muda artis penyanyi lalu mengatakan “Ini anakku, karena kedudukan guru dalam Islam adalah ayah, bahkan lebih dekat daripada ayah kandung dan ayah mertua” Akankah engkau juga menambah barisan kebingungan ummat lalu mendaftar diri sebagai ‘alimullisan (alim di lidah)? Apa kau fikir sesudah semua kedangkalan ini kau masih aman dari kemungkinan jatuh ke lembah yang sama?

Apa beda seorang remaja yang menzinai teman sekolahnya dengan seorang alim yang merayu rekan perempuan dalam aktifitas da’wahnya? Akankah kau andalkan penghormatan masyarakat awam karena statusmu lalu kau serang maksiat mereka yang semakin tersudut oleh retorikamu yang menyihir ? Bila demikian, koruptor macam apa engkau ini? Pernah kau lihat sepasang mami dan papi dengan anak remaja mereka. Tengoklah langkah mereka di mal.

Betapa besar sumbangan mereka kepada modernisasi dengan banyak-banyak mengkonsumsi produk junk food, semata-mata karena nuansa “westernnya” . Engkau akan menjadi faqih pendebat yang tangguh saat engkau tenggak minuman halal itu, dengan perasaan “lihatlah, betapa Amerikanya aku”. Memang, soalnya bukan Amerika atau bukan Amerika, melainkan apakah engkau punya harga diri.

Mahatma Ghandi memimpin perjuangan dengan memakai tenunan bangsa sendiri atau terompah lokal yang tak bermerk. Namun setiap ia menoleh ke kanan, maka 300 juta rakyat India menoleh ke kanan. Bila ia tidur di rel kereta api, maka 300 juta rakyat India akan ikut tidur disana.

Kini datang “pemimpin” ummat, ingin mengatrol harga diri dan gengsi ummat dengan pameran mobil, rumah mewah, “toko emas berjalan” dan segudang asesori. Saat fatwa digenderangkan, telinga ummat telah tuli oleh dentam berita tentang hiruk pikuk pesta dunia yang engkau ikut mabuk disana. “Engkau adalah penyanyi bayaranku dengan uang yang kukumpulkan susah payah. Bila aku bosan aku bisa panggil penyanyi lain yang kicaunya lebih memenuhi seleraku.”



JALAN LAPANG BAGI KEHIDUPAN

oleh Aid Abdullah al-Qarni



فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ ﴿١٩﴾

"Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu." (QS. Muhammad [47] : 19)

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ ﴿٦٥﴾ بَلِ اللَّهَ فَاعْبُدْ وَكُن مِّنْ الشَّاكِرِينَ ﴿٦٦﴾

"Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi), niscaya akan hapus amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. Oleh karena itu, hendaklah Allah saja, yang kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur." (QS. Az-Zumar [39] : 65-66)

Yaitu ajaran tauhid yang ditafsirkan oleh Nabi Shallahu alaihi wassallam dalam aktivitas kehidupannya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Allah Ta'ala melalui firman-Nya yang menyitir kata-katanya:

وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ ﴿٨٠﴾

"Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku." (QS. Asy-Syu'ara [26] : 80)

Dalam shahih Bukhari disebutkan bahwa Ibnu Abbas r.a mengatakan firman-Nya :

حَسْبُنَا اللّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ ﴿١٧٣﴾

"Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung." (QS. Ali-Imran [3] : 173)

Ibrahim alaihis sallam mengucapkannya saat dilemparkan ke dalam api, maka Allah menjadikan api itu sejuk dan kesalamatan baginya. Nabi Muhammad Shallahu alaihi wassalam telah mengucapkannya saat orang-orang munafik mengatakan kepadanya sebagaimana yang disitir oleh firman-Nya:

الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُواْ لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَاناً وَقَالُواْ حَسْبُنَا اللّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ ﴿١٧٣﴾

Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerangkamu, karena itu takutlah kepada mereka, maka perkataan itu justeru menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, "Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung". (QS. Ali Imran [3] : 173)

Ajaran tauhid bukan sekadar mengucapkan "laa ilaaha illalloh", kemudian amal perbuatan disuatu sisi, sedangkan "laa ilaha illahoh" di sisi lain yang berseberangan.

Memang banyak orang mengucapkan "laa ilaaha illalloh", tetapi karena mengingkari pemahamannya, mereka tidak terpengaruh olehnya dan cahaya "laa ilaahaa illalloh" tidak mereka realisasikan dalam kehidupannya. Mereka mengucapkannya, kemudian menjauhi masjid. Mereka mengucapkan "laa ilaahaa illalloh", tetapi makan dari riba, berpakaian dari riba, minum dari riba, dan mengambil dengan cara riba, kemudian seseorang diantara mereka mengangkat kedua tangannya seusai shalat dan berdo'a; "Ya Tuhanku! Ya Tuhanku," sedang perutnya dipenuhi dengan riba.

Di manakah "laa ilaaha illalloh"?

Mereka mengucapkan "laa alaaha illalloh", kemudian mengingkari hijab, meninggalkan, dan menolaknya. Seorang wanita keluar rumahnya, dia mengucapkan "laa ilaaha illalloh", sedang amalnya bertolak belakang dengan prinsip "laa ilaahaa illlalloh". Dia keluar memamerkan perhiasan dan kecantikan serta menanggalkan kehormatan, iman, dan rasa malunya kepada laki-laki fasiq, suka melacur. Kita pun tidak dapat mengadu, selain hanya kepada Allah.

Sesungguhnya ajaran "laa ilaaha illalloh" dalam kehidupan para shahabat pada masa lalu mempunyai makna tersendiri, cahaya, dan cita rasa yang lain. Di kalangan para shahabatlah terdapat contoh-contoh yang benar dalam mengimplementasikan makna "laa ilaaha illalloh", yaitu kamu korbankan jiwa dan ragamu hanya kepada Yang Maha Tunggal lagi Maha Esa, Allah SWT.

إِنَّ اللّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُم بِأَنَّ لَهُمُ الجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالإِنجِيلِ وَالْقُرْآنِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللّهِ فَاسْتَبْشِرُواْ بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُم بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ ﴿١١١﴾

"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan Surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan al-Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) dari Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu." (QS. At-Taubah [9] : 111)

Makna "la ilaaha illalloh" menurut ulama salaf ialah janganlah Anda melewatkan satu shalat pun di dalam masjid selama Anda kuat lagi mampu.

Berikut ini adalah Sa'id ibnul Musayab, salah seorang tabi'in, dalam sekaratul mautnya dia bersumpah dengan nama Allah seraya mengatakan, "Tidaklah sekali-kali muadzdzin menyerukan adzannya sejak 40 tahun yang silam, melainkan aku telah berada dalam masjid".

Kami katakan, "Wahai Sai'id sesungguhnya telah didapati di kalangan kaum muslim orang-orang yang tidak mengenal masjid. Jika mereka datang ke masjid, maka dengan sikap riya', pamer, dan basa-basi."

فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا ﴿٥٩﴾

"Maka datanglah sesudah mereka pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka kelak mereka akan menemui kesesatan." (QS. Maryam [19] : 59)

Wahai Ibnul Musayyab, sesungguhnya al-Qur'an yang dahulu biasa dibaca di rumah-rumah kaum Muhajirin dan kaum Anshar, sekarang telah berubah karena telah diganti di kebanyakan rumah menjadi nyanyian asmara, suara dawai, musik, gitar, gendang, dan gitar. Kami pun hanya bisa mengadu keadaan kami kepada Allah Ta'ala.

Rasulullah Shallahu alaihi wassalam mengirimkan pasukan ke gelapan malam dan mereka mengangkat dua orang shahabat untuk piket, yaitu Ammar ibnu Yasir dan Abbas ibnu Bisyr. Keduanya diberi tugas untuk menjaga pasukan yang sedang berjuang di jalan Allah di kegelapan malam, sedang Rasulullah Shallahu alaihi wassalam telah bersabda, "Ada dua mata yang tidak akan tersentuh api neraka, yaitu mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang semalaman berjaga di jalan Allah." (HR. Tirmidzi)

"Dan mata yang menghindar dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah".

Akan tetapi, pada masa sekarang terdapat ribuan mata, saat hati mereka kosong dari "laa ilaaha illalloh", mengumbar penglihatannya melihat hal-hal yang diharamkan, lupa kepada Tuhan yang menguasai bumi dan langi, yang pandangan-Nya kepada hamba lebih cepat daripada pandangan hamba kepada kemaksiatan.

Peliharalah kedua matamu, jika memperlihatkan kepadamu aib suatu kaum. Katakanlah kepadanya, "Hai mata, orang lain mempunyai banyak mata!"

Abbas ibnu Bisyr dan Ammar Ibnu Yasir pun bangkit untuk piket jaga. Ammar berkata kepada Abbad, "Apakah engkau jaga di permulaan malam hari atau penghujungnya?". Abbad menjawab, "Aku piket di permulaan malam hari". Abbad pun bangkit untuk melakukan piket dan jaga.

Dalam tugas jganya Abbas senbaru melakukan shalat dan menangis. Ketika musuh mengirimkan anak panah kepadanya saat ia sedang shalat, ia mencabut anak panah yang mengenai dirinya dan melanjutkan shalatnya.

Mereka mengirimkannya lagi untuk kedua kalinya dan ia langsung mencabutnya, dan mereka mengirimkannya lagi untuk ketiga kalinya. Iapun mencabut sendiri. Ketika darahnya banyak yang keluar, ia mempersingkat shalatnya dan bersalam. Lalu ia memanggil Ammar seraya berkata, "Hai Ammar, sekarang giliranmu jagamu. Demi Allah yang tiada tuhan yang berhak disembah selain Dia. Seandainya aku tidak kawatir terbunuh, karena musuh nanti akan masuk, tentulah aku tidak akan memutuskan shalatku, meskipun harus mati".

"Kami berasal dari kaum yang bila diseru untuk mengerjakan shalat, mereka tetap menghadapkan wajahnya ke arah Ka'bah, dan menyerukan takbirnya bersama dengan ar-Ruhul Amin, meskipun peperangan membasahi bumi dengan darah merah segar".

Akan tetapi, sesudah generasi ini datanglah satu kaum yang meninggalkan shalat shubuh, kecuali mereka yang dirahmati oleh Allah. Wallahlu'alam.



Tuesday, July 19, 2011

Memerintah Anak utk Berpuasa


Sejak kecil ketika anak kita sudah kuat berpuasa, maka sudah seharusnya didorong untuk menjalankan ibadah yang mulia tersebut. Jika sudah dilatih sejak dini, maka kelak ketika sudah baligh, ia akan mudah menjalankan ibadah puasa Ramadhan.

Dalam perkara shalat, Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan,

مُرُوا الصَّبِىَّ بِالصَّلاَةِ إِذَا بَلَغَ سَبْعَ سِنِينَ وَإِذَا بَلَغَ عَشْرَ سِنِينَ فَاضْرِبُوهُ عَلَيْهَا

“Perintahkan anak ketika ia sudah menginjak usia tujuh tahun untuk shalat. Jika ia sudah menginjak usia sepuluh tahun, maka pukullah ia (jika enggan shalat).” (HR. Abu Daud no. 494. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)

Mengenai perintah bagi anak untuk berpuasa dijelaskan dalam riwayat berikut.

‘Umar radhiyallahu anhu berkata kepada seseorang yang mabuk-mabukkan di bulan Ramadhan, “Celaka engkau, perhatikanlah puasa anak-anak kita.” Lantas beliau memukulnya karena ia dalam keadaan mabuk. (Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam kitab Shahihnya)

Imam Al Bukhari membawakan pula dalam kitab Shahihnya Bab “Puasanya anak kecil”. Lantas beliau membawakan hadits dari Ar Rubayyi’ binti Mu’awwidz. Ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang pada pagi hari di hari Asyura (10 Muharram) ke salah satu perkampungan Anshor, lantas beliau berkata,

مَنْ أَصْبَحَ مُفْطِرًا فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ ، وَمَنْ أَصْبَحَ صَائِمًا فَلْيَصُمْ

Barangsiapa yang tidak berpuasa di pagi hari, maka hendaklah ia menyempurnakan sisa hari ini dengan berpuasa. Barangsiapa yang berpuasa di pagi harinya, hendaklah ia tetap berpuasa.” Ar Rubayyi’ berkata, “Kami berpuasa setelah itu. Dan kami mengajak anak-anak kami untuk berpuasa. Kami membuatkan pada mereka mainan dari bulu. Jika saat puasa mereka ingin makan, maka kami berikan pada mereka mainan tersebut. Akhirnya mereka terus terhibur sehingga mereka menjalankan puasa hingga waktu berbuka.” (HR. Bukhari no. 1960). Hadits ini menunjukkan bahwa hendaklah anak-anak dididik puasa sejak mereka kuat. Jika mereka ‘merengek’ ingin berbuka padahal belum waktunya, maka hiburlah mereka dengan mainan sehingga mereka terbuai. Akhirnya mereka nantinya bisa menjalankan puasa hingga waktu Maghrib.

Ibnu Battol rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa ibadah dan berbagai kewajiban tidaklah wajib kecuali jika seseorang sudah baligh. Namun mayoritas ulama menganjurkan agar anak dilatih berpuasa dan melakukan ibadah supaya nantinya mereka tidak meninggalkannya, dan terbiasa serta mudah melakukannya ketika sudah wajib nantinya.” (Syarh Al Bukhari, 7/125, Asy Syamilah)

Ibnul Mundzir rahimahullah sebagaimana dinukil oleh Ibnu Battol menyatakan, “Para ulama berselisih pendapat kapan waktu anak diperintahkan untuk berpuasa.

Al Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin, ‘Auroh, ‘Atho’, Az Zuhri, Qotadah dan Imam Asy Syafi’i menyatakan bahwa anak diperintahkan puasa ketika telah mampu.

Al Awza’i menyatakan bahwa jika jika anak telah mampu berpuasa tiga hari berturut-turut dan tidak lemas, maka ia sudah dibebani menjalankan ibadah puasa. …

Ishaq berkata bahwa jika anak telah menginjak usia 12 tahun, maka ia sudah dibebani menjalankan ibadah puasa agar terbiasa.

Ibnu Al Majusyun berkata, “Jika anak telah mampu puasa, maka ia telah wajib puasa. JIka ia tidak puasa tanpa udzur dan bukan karena sakit, maka ia tetap wajib mengganti (mengqodho’) puasanya.

Sedangkan Asy-hab berkata, “Disunnahkan bagi anak-anak untuk berpuasa ketika ia telah mampu.” (Syarh Al Bukhari, 7/125, Asy Syamilah)

Bagusnya adalah ketika telah mampu, anak hendaklah sudah diperintahkan untuk berpuasa. Ketika ia sudah baligh dengan tanda telah haidh bagi wanita, tumbuh bulu kemaluan atau telah mimpi basah, maka ia sudah wajib untuk berpuasa.

Semoga Allah menganugerahkan pada kita anak-anak yang sholeh yang giat untuk beribadah dan berakhlak mulia.

Wallahu waliyyut taufiq.

Panggang-Gunung Kidul, 11st Sya’ban 1432 H (13/07/2011)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id



KENDALIKAN LISAN


Lidah adalah anggota badan yang benar-benar perlu dijaga dan dikendalikan. Sesungguhnya lidah adalah penerjemah hati dan pengungkap isi hati. Oleh karena itulah, setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan istiqamah, beliau mewasiatkan untuk menjaga lisan. Dan lurusnya lidah itu berkaitan dengan kelurusan hati dan keimanan seseorang. Di dalam Musnad Imam Ahmad dari Anas bin Malik , dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

لَا يَسْتَقِيمُ إِيمَانُ عَبْدٍ حَتَّى يَسْتَقِيمَ قَلْبُهُ وَلَا يَسْتَقِيمُ قَلْبُهُ حَتَّى يَسْتَقِيمَ لِسَانُهُ وَلَا يَدْخُلُ رَجُلٌ الْجَنَّةَ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

Iman seorang hamba tidak akan istiqamah, sehingga hatinya istiqamah. Dan hati seorang hamba tidak akan istiqamah, sehingga lisannya istiqamah. Dan orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatan-kejahatannya, tidak akan masuk surga. (H.R. Ahmad, no. 12636, dihasankan oleh Syaikh Salim Al-Hilali di dalam Bahjatun Nazhirin, 3/13).

Dan di dalam Tirmidzi (no. 2407) dari Abu Sa’id Al-Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ فَإِنَّ الْأَعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ اللِّسَانَ فَتَقُولُ اتَّقِ اللَّهَ فِينَا فَإِنَّمَا نَحْنُ بِكَ فَإِنْ اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا وَإِنْ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا

Jika anak Adam memasuki pagi hari sesungguhnya semua anggota badannya berkata merendah kepada lisan, “Takwalah kepada Allah di dalam menjaga hak-hak kami, sesungguhnya kami ini tergantung kepadamu. Jika engkau istiqaomah, maka kami juga istiqamah, jika engkau menyimpang (dari jalan petunjuk), kami juga menyimpang. (H.R. Tirmidzi, no. 2407; dihasankan oleh Syaikh Salim Al-Hilali di dalam Bahjatun Nazhirin, 3/17, no. 1521) (Jami’ul ‘Uluum wal Hikam, 1/511-512)

Oleh karena itulah, sepantasnya seorang mukmin menjaga lidahnya. Tahukah Anda jaminan bagi orang yang menjaga lidahnya dengan baik? Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ

Siapa yang menjamin untukku apa yang ada di antara dua rahangnya dan apa yang ada di antara dua kakinya, niscaya aku menjamin surga baginya. (H.R. Bukhari, no. 6474; Tirmidzi, no. 2408; lafazh bagi Bukhari).

Beliau juga menjelaskan, bahwa menjaga lidah merupakan keselamatan.

عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا النَّجَاةُ قَالَ أَمْلِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ وَلْيَسَعْكَ بَيْتُكَ وَابْكِ عَلَى خَطِيئَتِكَ

Dari ‘Uqbah bin ‘Aamir, dia berkata, “Aku bertanya, wahai Rasulallah, apakah sebab keselamatan?” Beliau menjawab, “Kuasailah lidahmu, hendaklah rumahmu luas bagimu, dan tangisilah kesalahanmu”. (H.R. Tirmidzi, no.2406)

Yaitu janganlah engkau berbicara kecuali dengan perkara yang membawa kebaikanmu, betahlah tinggal di dalam rumah dengan melakukan ketaatan-ketaatan, dan hendaklah engkau menyesali kesalahanmu dengan cara menangis. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi).

Imam An-Nawawi rahimahullah (wafat 676 H) berkata, “Ketahuilah, sepantasnya bagi setiap mukallaf (orang yang berakal dan baligh) menjaga lidahnya dari seluruh perkataan, kecuali perkataan yang jelas mashlahat padanya. Ketika berbicara atau meninggalkannya itu sama mashlahat-nya, maka menurut Sunnah adalah menahan diri darinya. Karena perkataan mubah bisa menyeret kepada perkataan yang haram atau makruh. Bahkan, ini banyak atau dominan pada kebiasaan. Sedangkan keselamatan itu tiada bandingannya. Telah diriwayatkan kepada kami di dalam dua Shahih, Al-Bukhari (no. 6475) dan Muslim (no. 47), dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam.”

Aku katakan: hadits yang disepakati shahihnya ini merupakan nash yang jelas bahwa sepantasnya seseorang tidak berbicara, kecuali jika perkataan itu merupakan kebaikan, yaitu yang nampak mashlahat-nya. Jika dia ragu-ragu tentang timbulnya mashlahat, maka dia tidak berbicara.

Dan Imam Asy-Syafi’i telah berkata, ‘Jika seseorang menghendaki berbicara, maka sebelum dia berbiacra hendaklah berpikir, jika nampak jelas mashlahat-nya dia berbicara, dan jika dia ragu-ragu, maka dia tidak berbicara sampai jelas mashlahat-nya.’” [Al-Adzkaar, 2/713-714, karya Imam An-Nawawi, tahqiiq dan takhriij Syaikh Salim Al-Hilaali, penerbit Dar Ibni Hazm, cet. 2, th. 1425 H / 2004 M].

Selain itu, bahwa lidah merupakan alat yang mengungkapkan isi hati. Jika Anda ingin mengetahui isi hati seseorang, maka perhatikanlah gerakan lidahnya, isi pembicaraannya, hal itu akan memberitahukan isi hatinya, baik orang tersebut mau atau enggan.

Diriwayatkan bahwa Yahya bin Mu’adz berkata, “Hati itu seperti periuk yang mendidih dengan isinya, sedangkan lidah itu adalah gayungnya. Maka, perhatikanlah seseorang ketika berbicara, karena sesungguhnya lidahnya itu akan mengambilkan untukmu apa yang ada di dalam hatinya, manis, pahit, tawar, asin, dan lainnya. Pengambilan lidahnya akan menjelaskan kepadamu rasa hatinya.” [Hilyatul Au'iyaa', 10/63, dinukil dari Aafaatul Lisaan fii Dhauil Kitab was Sunnah, hlm, 159, karya Dr. Sa'id bin 'Ali bin Wahf Al-Qahthani]

Perkataan Para Salaf Tentang Hifzhul Lisan

Sesungguhnya, para Salaf dahulu biasa menjaga dan menghisab lidahnya dengan baik. Dan diriwayatkan dari mereka perkataan-perkataan yang bagus berkaitan dengan lidah dan pembicaraan. Kami sampaikan di sini sebagiannya agar kita dapat memetik manfaat darinya.

Diriwayatkan, bahwa ‘Umar bin Al-Khaththab berkata, “Barangsiapa banyak pembicaraannya, banyak pula tergelincirnya. Dan barangsiapa banyak tergelincirnya, banyak pula dosanya. Dan barangsiapa banyak dosa-dosanya, neraka lebih pantas baginya.” [Riwayat Al-Qudhai di dalam Musnad Asy-Syihab, no. 374; Ibnu Hibban di dalam Raudhatul 'Uqala', hlm. 44. Dinukil dari Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, juz 1, hlm. 339, karya Imam Ibnu Rajab, dengan penelitian Syu’aib Al-Arnauth dan Ibrahim Bajis; penerbit Ar-Risalah; cet: 5; th: 1414 H/ 1994 M]

Diriwayatkan, bahwa Ibnu Mas’ud pernah bersumpah dengan nama Allah, lalu mengatakan, “Di muka bumi ini, tidak ada sesuatu yang lebih pantas menerima lamanya penjara daripada lidah!” [Riwayat Ibnu Hibban di dalam Raudhatul 'Uqala', hlm. 48. Dinukil dari Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, juz 1, hlm. 340]

Diriwayatkan, bahwa Ibnu Mas’ud berkata, “Jauhilah fudhuulul kalam (pembicaraan yang melebihi keperluan). Cukup bagi seseorang berbicara, menyampaikan sesuai kebutuhannya.” [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, juz. 1, hlm. 339]

Syaqiq mengatakan, “‘Abdullah bin Mas’ud ber-talbiyah di atas bukit Shofa, kemudian mengatakan, ‘Wahai lidah, katakanlah kebaikan niscaya engkau mendapatkan keberuntungan, diamlah niscaya engkau selamat, sebelum engaku menyesal.’ Orang-orang bertanya, ‘Wahai Abu ‘Abdurrahman, ini adalah suatu perkataan yang engkau ucapkan sendiri, atau engkau dengar?’ Dia menjawab, ‘Tidak, bahkan aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَكْثَرُ خَطَايَا إِبْنِ آدَمَ فِي لِسَانِهِ

‘Mayoritas kesalahan anak Adam adalah pada lidahnya.‘” (HR. Thabarani, Ibnu ‘Asakir, dan lainnya. Lihat Silsilah Ash-Shahihah, no. 534).

Diriwayatkan, bahwa Ibnu Buraidah mengatakan, “Aku melihat Ibnu ‘Abbas memegangi lidahnya sambil berkata ‘Celaka engkau, katakanlah kebaikan, engkau mendapatkan keberuntungan. Diamlah dari keburukan, niscaya engkau selamat. Jika tidak, ketahuilah bahwa engaku akan menyesal.’” [Aafatul Lisaan, hlm. 161]

Diriwayatkan, bahwa An-Nakhai berkata, “Manusia binasa pada fudhuulul maal (harta yang melebihi kebutuhan) dan fudhuulul kalam.” [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, juz 1, hlm. 339]

Diriwayatkan, bahwa ada seseorang yang bermimpi bertemu dengan seorang alim besar. Kemudian orang alim itu ditanya tentang keadaannya, dia menjawab, “Aku diperiksa tentang satu kalimat yang dahulu aku ucapkan. Yaitu aku dahulu pernah mengatakan, ‘Manusia sangat membutuhkan hujan!’ Aku ditanya, ‘Tahukah engkau, bahwa Aku (Allah) lebih mengetahui terhadap mashlahat hamba-hamba-Ku?” [Aafatul Lisaan, hlm. 160-161]

Diriwayatkan, bahwa seorang Salaf mengatakan, “Seorang mukmin itu menyedikitkan omongan dan memperbanyak amalan. Adapun orang munafik, dia memperbanyak omongan dan menyedikitkan amalan.”

Diriwayatkan, bahwa seorang Salaf mengatakan, “Selama aku belum berbicara dengan satu kalimat, maka aku menguasainya. Namun jika aku telah mengucapkannya, maka kalimat itu menguasaiku.”

Diriwayatkan, bahwa seorang Salaf mengatakan, “Diam adalah ibadah tanpa kelelahan, keindahan tanpa perhiasan, kewibawaan tanpa kekuasaan, Anda tidak perlu beralasan karenanya, dan dengannya aibmu tertutupi.” [Lihat Hashaaidul Alsun, hlm. 175-176]

Kesimpulannya adalah bahwa kita diperintahkan berbicara yang baik, dan diam dari keburukan. Jika berbicara hendaklah sesuai dengan keperluannya. Wallahul Musta’an.

MASHAADIR:

1- Aafaatul Lisaan fii Dhauil Kitab was Sunnah, karya Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al-Qahthani

2- Al-Adzkaar, karya Imam An-Nawawi, tahqiiq dan takhriij Syaikh Salim Al-Hilaali, penerbit Dar Ibni Hazm, cet. 2, th. 1425 H / 2004 M

3- Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, karya Imam Ibnu Rajab, dengan penelitian Syu’aib Al-Arnauth dan Ibrahim Bajis; penerbit Ar-Risalah; cet: 5; th: 1414 H/ 1994 M)

4- Hashaaidul Alsun, karya Syaikh Husain Al-’Awaisyah, penerbit. Darul Hijrah. Dan lain-lain.

Penulis: Ustadz Abu Isma’il Muslim Atsari



TAHNIK PADA BAYI


Islam telah memberikan perhatian yang besar dalam rangka menjaga anak anak dan ibu-ibu dalam setiap tahapannya dengan perhatian yang demikian tinggi yang tidak tertandingi oleh apa yang sudah dilakukan oleh PBB dan organisasi HAM dan WHO sekalipun.

Dalam Islam, anak tidak hanya dipelihara sejak setelah lahir semata, bahkan bahkan sejak seseorang berfikir akan menikah!!! Nabi saw telah bersabda agar kita memilih pasangan atau isteri yang shalihah (baik). Islam telah memberikan perhatian yang besar untuk keselamatan keturunan dan anggota keluarga agar menjadi kuat, tidak hanya secara akhlaq, bahkan dalam hal genetika tubuh dan kejiwaan. Pemeliharaan ini terus berjalan sampai mencapai masa kehamilan dan ketika hendak melahirkan, melahirkan, menyusui, dan tahapan pendidikan, serta perkembangan berikutnya. Diantara bukti perhatian Islam terhadap anak pada masa kelahiran adalah masalah Tahnik.

Sejumlah hadits tentang tahnik

Iman Bukhari dalam Shahih-nya men-takhrij hadits dari Asma’ binti Abi Bakr

Dari Asma’ binti Abu Bakr -semoga Allah meridhai keduanya- bahwa dirinya ketika sedang mengandung Abdullah ibn Zubair di Mekah mengatakan, “Saya keluar dan aku sempurna hamilku 9 bulan, lalu aku dating ke madinah, aku turun di Quba’ dan aku melahirkan di sana, lalu aku pun mendatangi Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, maka beliau Shalallaahu alaihi wasalam menaruh Abdullah ibn Zubair di dalam kamarnya, lalu beliau Shalallaahu alaihi wasalam meminta kurma lalu mengunyahnya, kemudian beliau Shalallaahu alaihi wasalam memasukkan kurma yang sudah lumat itu ke dalam mulut Abdullah ibn Zubair. Dan itu adalah makanan yang pertama kali masuk ke mulutnya melalu Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, kemudianbeliau men-tahnik-nya, lalu beliau Shalallaahu alaihi wasalam pun mendo’akannya dan mendoakan keberkahan kepadanya.

Dalam shahihain -Shahih Bukhari dan Muslim- dari Abu Musa Al-Asy’ariy, “Anakku lahir, lalu aku membawa dan mendatangi Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, lalu beliau Shalallaahu alaihi wasalam memberinya nama Ibrahim dan kemudian men-tahnik-nya dengan kurma.” dalam riwayat Imam Bukhari ada tambahan: “maka beliau SAW mendoakan kebaikan dan memdoakan keberkahan baginya, lalu menyerahkan kembali kepadaku.”

Penjelasan Ilmiah

Sesungguhnya kandungan zat gula “glukosa” dalam darah bayi yang baru lahir adalah sangat kecil, dan jika bayi yang lahir beratnya lebih kecil maka semakinkecil pula kandungan zat gula dalam darahnya.

Oleh karena itu, bayi prematur (lahir sebelum dewasa), beratnya kurang dari 2,5 kg, maka kandungan zat gulanya sangat kecil sekali, dimana pada sebagian kasus malah kurang dari 20 mg/100ml darah. Adapun anak yang lahir dengan berat badan di atas 2,5 kg maka kadar gula dalam darahnya biasanya di atas 30 mg/100 ml.

Kadar semacam ini berarti (20 atau 30 mg/100 ml darah) merupakan keadaan bahaya dalam ukuran kadar gula dalam darah. Hal ini bisa menyebabkan terjadinya berbagai penyakit:

• Bayi menolak untuk menyusui;

• Otot-otot melemas;

• Berhenti secara terus-menerus aktivitas pernafasan dan kulit bayi menjadi kebiruan;

• Kontraksi atau kejang-kejang;

Dan terkadang bisa juga menyebabkan sejumlah penyakit yang berbahaya dan lama, seperti:

• Insomnia;

• Lemah otak;

• Gangguan syaraf;

• Gangguan pendengaran, penglihatan, atau keduanya;

• Kejang-kejang secara berkepanjangan dan kronis.

Apabila hal-hal di atas tidak segera ditanggulangi atau diobati maka bisa menyebabkan kematian. Padahal obat untuk itu adalah sangat mudah, yaitu memberikan zat gula yang berbentuk glukosa melalui infus, baik lewat mulut, maupun pembuluh darah.

Pembahasan

Sesungguhnya perbuatan Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam men-tahnik bayi-bayi yang baru lahir dengan kurma setelah dilumatkan dan kemudian memasukkannya ke mulut bayi, kemudian men-tahnik-nya (mengolehkan lumatan kurma di langit-langit mulut) adalah memiliki hikmah yang agung. Sebab, kurma memiliki kandungan gula “glukosa” dalam jumlah yang banyak, khususnya setelah dilumatkan dimulut sehingga bercampur dengan air liur, diman air liur mengandungs ejumlah enzim khusus yangbisa mengubah glukosa menjadi gula asal. Air liur juga bisa melumatkan zat-zat gula. Sehingga bayi yang baru lahir bias mencerna kurma lembut itu dengan baik.

Dan karena mayoritas atau bahkan semua bayi membutuhkan zat gula dalam bentuk “glukosa” seketika setelah lahir, maka memberikan kurma yang sudah dilumat bias menjauhkan sang bayi -dengan izin Allah Subhannahu wa Ta’ala – dari kekurangan kadar gula yang berlipat-lipat.

Sesungguhnya disunnahkannya tahnik kepada bayi adalah obat sekaligus tindakan preventif yang memiliki fungsi penting yang sangat, dan ini adalah mukjizat kenabian Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam secara medis dimana sejarah kemanusiaan tidak pernah mengetahui hal itu sebelumnya, bahkan kini manusia tahu bahayanya kekurangan kadar glukosa dalam darah bayi.

Dan sesungguhnya bayi yang baru lahir, apalagi jika lahir premature, tanpa diragukan lagi sangat membutuhkan solusi cepat, yaitu memberikan zat gula. Dan rumah sakit-rumah sakit pun kini memberikan kepada bayi dan anak-anak glukosa agar dihisap oleh sang bayi atau anak kecil langsung setelah lahir, kemudian baru setelah itu, mulailah sang ibu menyusuinya.

Sesungguhnya hadits-hadits Nabi Shalallaahu alaihi wasalam yang mulia yang berkenaan dengan tahnik menjadi pintu pembuka cakrawala pengetahuan dunia dalam hal menjaga dan merawat anak atau bayi, khususnya bayi lahir premature.

Prematur adalah diantara penyakit yang sangat berbahaya, karena sang bayi memiliki kandungan kadar gula glukosa yang sangat kecil dalam darahnya. Jika diberikan kepadanya zat gula yang siap diserap olehnya, maka itu adalah solusi yang terbaik dan selamat dalam keadaan darurat semacam ini. Tahnik kurma juga sekaligus menjadi mukjizat kenabian Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam secara medis, padahal hal itu tidak pernah diketahui sebelumnya, baik pada zaman beliau hidup ataupun pada zaman-zaman sekarang, kecuali setelah dilakukannya sejumlah penelitian pada abad 20-an ini.

Sumber: Makalah Dr. Muhammad ‘Ali Al-Bari, dalam Majalah Al-I’jaaz Al-Ilmiy No. 04. (Abm) (alsofwah)



Friday, July 15, 2011

NISHFU SYA’BAN dan SADRANAN


Jama’ah Jum’ah rahimakumullah, marilah kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah berkenan memberikan berbagai keni’matan bahkan hidayah kepada kita.

Shalawat dan salam semoga Allah tetapkan untuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, para sahabatnya, dan para pengikutnya yang setia dengan baik sampai akhir zaman.

Jama’ah Jum’ah rahimakumullah, mari kita senantiasa bertaqwa kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa, menjalani perintah-perintah Allah sekuat kemampuan kita, dan menjauhi larangan-laranganNya.

Jama’ah Jum’ah rahimakumullah. Kita hadir di masjid untuk shalat Jum’at ini tentunya ada semangat kebaikan dalam jiwa kita. Semangat mengerjakan kebaikan atau ibadah adalah merupakan anugerah Allah. Seandainya tanpa dianugerahi semangat, maka tentunya tidak ada semangat untuk kebaikan itu. Sehingga kalimat « لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ » dalam hadits Bukhari dan Muslim dinyatakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai kanzul jannah (simpanan surga). Karena maknanya adalah kepasrahan dan penyerahan diri kepada Allah, bahwa tidak ada daya untuk menolak keburukan dan tidak ada kekuatan untuk mencapai kebaikan kecuali karena Allah.

Setelah kita mengakui bahwa adanya semangat untuk melakukan kebaikan itu benar-benar dari Allah Ta’ala, maka kita pun wajib mensyukurinya. Di antara menysukurinya adalah menggunakan semangat kebaikan itu sesuai dengan ukuran yang datangnya dari Allah Ta’ala yang dibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga akan tepat penggunaan semangat itu sesuai dengan aturan Allah Taala dan Rasul-Nya. Bila tidak, maka yang terjadi adalah semangat kebaikan itu menghasilkan perbuatan yang kurang pas. Boleh jadi kurang afdhol, tidak utama, dan sebaliknya boleh jadi justru menyimpang, namun dianggap baik oleh pelakunya.

Jama’ah jum’ah rahimakumullah. Dalam hadits

عَنْ أَبِى بَكْرَةَ أَنَّهُ انْتَهَى إِلَى النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - وَهْوَ رَاكِعٌ ، فَرَكَعَ قَبْلَ أَنْ يَصِلَ إِلَى الصَّفِّ ، فَذَكَرَ ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَ « زَادَكَ اللَّهُ حِرْصًا وَلاَ تَعُدْ »

Dari Abu Bakrah bahwa dia (masuk masjid) hingga sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedang beliau lagi ruku’ maka dia (Abu Bakrah) ruku’ sebelum sampai ke shaf, maka dia (setelah shalat) menyebutkan hal itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda: Semoga Allah menambahimu semangat (untuk kebaikan) dan jangan kamu ulangi. (HR Al-Bukhari).

At-Thahawi berkata, sabdanya, walaa ta’ud (jangan kamu ulangi) bagi kami mengandung dua makna. Jangan kamu ulangi untuk ruku’ di belakang shaf sehingga kamu berdiri dalam shaf. Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu Ta’ala ‘anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Apabila salah seorang kalian mendatangi shalat maka janganlah ia ruku’ sebelum sampai di shaf sehingga ia menempati shaf. Dan mengandung makna, jangan kamu ulangi untuk jalan cepat-cepat ke shaf dengan jalan cepat yang kamu didorong oleh nafsu di dalamnya. Sebagimana hadits yang datang dari Abu Hurairah radhiyallahu Ta’ala ‘anhu dari Rasulullah, beliau bersabda: Apabila didirikan shalat maka kalian jangan mendatanginya sedangkan kalian berjalan cepat-cepat dan datangilah shalat itu sedang kalian berjalan (biasa saja). Dan hendaklah kamu tenang, maka apa yang kalian jumpai maka shalatlah, dan apa yang luput dari kalian maka sempurnakanlah. (“Umdatul Qari Syarah Shahih Al-Bukhari juz 9 halaman 240).

Jama’ah Jum’ah rahimakumullah. Ternyata, sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yakni Abu Bakrah yang telah bersemangat untuk kebaikan itu masih didoakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk Allah tambahi semangat (untuk kebaikan), dan sekaligus dinasihati, agar tidak mengulangi. Yang maknanya adalah sesuatu yang kurang afdhal (walau) sah pun jangan diulangi, apalagi kalau itu berupa penyimpangan atau pelanggaran yang besar. Dari sinilah perlunya kita sadari, semangat saja, walau semangat itu tinggi dalam hal kebaikan, tidak cukup. Masih perlu diterapkan pada aturan yang sesuai dan tepat.

Perlu diketahui, dalam hal ibadah itu sifatnya adalah tauqifi, yakni berhenti di atas dalil (ayat dan hadits yang sah). Tidak bisa kita sebagai muslim yang mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini melakukan ibadah yang tidak ada dalilnya yang sah. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tegaskan:

« مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا ، فَهْوَ رَدٌّ » .

Siapa yang mengerjakan suatu amalan (ibadah) yang tidak berdasarkan atas perintah kami maka dia tertolak. (HR Al-Bukhari dan Muslim) .

Jama’ah Jum’ah rahimakumullah. Dengan adanya aturan yang seperti itu, maka semestinya kita berhati-hati dalam beramal. Yakni perlu dilandasi ilmu, yaitu ada atau tidakkah dalilnya yang sah. Walau tidak hafal bunyi lafal dalilnya, yang terpenting sudah mengerti bahwa amal kita itu ada dalilnya yang sah.

Setelah kita tahu bahwa yang akan kita amalkan itu ada dalilnya yang sah, maka masih perlu pula mengetahui, benar atau tidak pemahamannya terhadap dalil itu. Walau tidak dituntut hafal lafal tentang pemahaman yang benar mengenai dalil itu. Karena tanpa benar pemahamannya, boleh jadi akan jauh dari kebenaran, dan masih atas nama dalil yang sah itu.

Jama’ah Jum’ah rahimakumullah. Di sinilah pentingnya kita Ummat Islam ini menuntut ilmu terutama mengenai kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan yang menyangkut kehidupan kita di dunia ini. Tanpa menuntut ilmu, dan hanya mengikuti orang banyak, maka telah diancam oleh Allah Ta’ala:

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ [الأنعام/116]

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah) (QS Al-An’am: 116).

Lebih dari itu, kalau tidak mau mendengarkan apa-apa yang dibawa oleh rasul maka penyesalan sangat dahsyat di akherat:

وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ (10) فَاعْتَرَفُوا بِذَنْبِهِمْ فَسُحْقًا لِأَصْحَابِ السَّعِيرِ [الملك/6-11]

Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala."

Mereka mengakui dosa mereka. Maka kebinasaanlah bagi penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala. (QS Al-Mulk/ 67:10-11).

Jama’ah Jum’ah rahimakumullah. Apa yang dilakukan oleh banyak orang, dan tampaknya islami, bahkan sering dihiasi dalil, dapat kita temui. Misalnya amaliah dikaitkan dengan apa yang mereka sebut nishfu sya’ban atau pertengahan bulan sya’ban. Demikian pula adanya gejala ramai-ramai ke kuburan di mana-mana di bulan Sya’ban atau menjelang Puasa Ramadhan. Ziarah kubur tiba-tiba banyak dilakukan orang menjelang ramadhan, di Jawa disebut sadranan atau nyadran.

Ziarah kubur itu sendiri adalah sunnah, bila sesuai dengan tata aturan syari’at Islam. Di antaranya tidak menentukan waktu-waktu tertentu diulang pada waktu tertentu. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

...وَلَا تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيدًا. (رواه أَبُو داود بإسنادٍ صحيح) .

“… dan jangan kalian jadikan kuburanku sebagai 'id (hari raya, yakni tempat yang selalu dikunjungi dan didatangi secara berulang pada waktu dan saat tertentu)…." (HR Abu Dawud – 1746 dengan sanad shahih).

Kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja tidak boleh dijadikan sebagai 'id (hari raya, yakni tempat yang selalu dikunjungi dan didatangi secara berulang pada waktu dan saat tertentu), maka mestinya kubur siapapun tidak boleh juga. Kalau sekadar diziarahi dan sesuai syari’at Islam, tentu tidak apa-apa. Bahkan bila benar-benar sesuai dengan syari’at Islam pelaksanaan ziarah kuburnya, justru sunnah dan mengandung hikmah di antaranya untuk mengingat akherat. Namun ketika kebanyakan orang berziarah kubur itu setiap menjelang Puasa Ramadhan, maka perlu dilihat lagi hadits tersebut. Dan tampaknya apa yang dilakukan ramai-ramai banyak orang itu tidak cocok.

Jama’ah Jum’ah rahimakumullah, ketika dicocokkan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak cocok, maka perlu dicari sebenarnya dari mana asalnya kebiasaan tiap tahun itu, dan dianggapnya dari Islam itu?

Doktor filsafat lulusan Universitas Gadjah Mada yang kini menjadi pengajar di Universitas Negeri Yogyakarta, Purwadi, mengatakan, tradisi ziarah makam sudah sangat mengakar pada masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa.

Ziarah ke makam wali, kata Purwadi, merupakan kepanjangan dari tradisi hinduisme bernama upacara srada. Tradisi ini sudah ada pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, raja yang memerintah Majapahit sekitar pertengahan abad ke-14.

Srada adalah upacara untuk memuliakan leluhur yang sudah meninggal. Dari kata srada itulah, masyarakat Jawa mengenal nyadran, yaitu kegiatan menziarahi makam leluhur. Biasanya nyadran ini dilakukan mendekati bulan puasa. Jadi, ziarah makam ini adalah bentuk akulturasi budaya Hindu dan Islam. (kompas cetak, Selasa, 18 Agustus 2009
12:00 WIB, dikutip Hartono Ahmad Jaiz dalam buku Kuburan-kuburan Keramat di Nusantara, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2011, halaman 280-281).

Jama’ah Jum’ah rahimakumullah. Dari segi lafalnya, ziarah kubur adalah dari Islam. Sedang sadranan atau nyadran dari lafal sadra yang maksudnya upacara Hindu untuk memuliakan leluhur yang sudah meninggal, berasal dari upacara Agama Hindu setiap menjelang puasa. Itu satu sisi.

Dari sisi tidak bolehnya kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dijadikan ‘ied, tempat yang dikunjungi dengan acara tertentu dan secara berulang pada waktu tertentu, mestinya Ummat Islam lebih mentaati Nabinya daripada ibadahnya orang kafir musyrik lalu dibungkus seolah islami. Kenapa demikian? Karena Allah Ta’ala telah menegaskan:



وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا [الأحزاب/36]

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS Al-Ahzab/ 33: 36).

Jama’ah Jum’ah rahimakumullah. Ketegasan Allah Ta’ala sedemikian jelas. Sehingga kita tidak dibolehkan ada pilihan lain-lain lagi di luar keputusan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam hal pelaksanaan dalil pun kita merujuk pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabat-sahabatnya. Sehingga dalam apa yang disebut acara-acara nishfu sya’ban perlu merujukkan pula pemahaman dalil yang dipakai orang sekarang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.

Kenapa mereka menganggap lailah Nishfi Sya’ban (malam Nishfu Sya’ban) sesuatu yang istimewa adalah karena salah pemahaman dari ayat pertama surat Ad Dukhan. Juga karena berpegang pada hadits palsu.

Adapun ayat surat Ad-Dukhan

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ(3)فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ(4)أَمْرًا مِنْ عِنْدِنَا إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ(5)رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ(6)

Artinya : Sesungguhnya kami menurunkan pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya kamilah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, yaitu urusan yang besar dari sisi kami. Sesungguhnya kami adalah yang mengutus rasul-rasul, sebagai rahmat dari Tuhanmu, sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Ad Dukhan : 3-6)

Mereka beranggapan bahwa Lailah Mubarakah (malam yang penuh berkah) itu adalah malam Nishfu sya’ban, sehingga mereka melakukan apa yang mereka lakukan. Dan anggapan seperti itu sangat salah sekali, bertentangan dengan konteks ayat dan juga bertentangan dengan ayat-ayat lain. Yang benar menurut konteks ayat dan sesuai dengan ayat-ayat lain adalah bahwa Lailah Mubarakah itu adalah Lailatul Qadar di bulan Ramadhan.

Ayat-ayat itu adalah salah satu dari tiga ayat yang berbicara tentang turunnya Al-Qur’an juga tentang waktunya. Adapun ayat yang kedua adalah :

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ(1)

Artinya : Sesungguhnya kami menurunkan Al Qur’an dimalam (Lailatul qodar) (Surat Al Qadr : 1)

Dan ayat ketiga menjelaskan bahwa itu di bulan Ramadhan :

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ

Artinya : (Adalah) bulan Ramadhan yang didalamnya diturunkan permulaan Al Qur’an (Al Baqarah : 185)

Jadi Lailah Mubarakah itu adalah Lailatul Qadr yang ada di bulan Ramadhanو malam itu disebut malam yang penuh berkah (Lailah Mubarakah) sebagaimana kitab suci Al Qur’an dinamai atau disifati Kitab yang diberkahi (Mubarak).

وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ

Artinya: Dan ini (Al-Qur’an) adalah kitab yang telah kami turunkan yang di berkahi (Al-An’am: 92)

Jadi bukan pada tempatnya menjadikan ayat itu sebagai dalil untuk mengkhususkan malam Nifsu Sya’ban dengan ibadah tertentu.

Ibnu Katsir berkata: Dan orang yang mengatakan bahwa itu adalah malam Nifsu Sya’ban sungguh telah terlalu jauh (menyimpang dari kebenaran)( Tafsir Ibnu Katsir 4/167)

Dan Adapun Hadits yang mereka jadikan dalil adalah:

إِذَاكَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُوْمُوْا لَيْلَهَا وَصُوْمُوْا نَهَارَهَا……..

Jika ada malam nishfu Sya’ban (pertengahan Sya’ban) maka sholatlah pada malamnya dan berpuasalah siangnya…

Hadits ini adalah hadits maudhu’ (palsu) diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Abdur Razzaq dari Abu Bakar Ibnu Abdillah Ibnu Abi Sabrah. Ibnu Main dan Imam Ahmad mengatakan: Dia (Abu Bakar) suka membuat ‘Hadits Palsu. An Na’sai mengatakan dia itu ‘Matruk’. (lihat ta’liq Al-Itisham oleh Rasyid Ridha 1/39)

Jadi jelas sekali apa yang dilakukan sebagian kaum muslimin di malam Nishfu Sya’ban adalah Bid’ah Munkarah (sesuatu yang diada-adakan secara baru lagi buruk) yang tak punya dasar.

Imam Asy Syathiby Al Andalusiy mengatakan, “Dan diantara hal yang bid’ah adalah rutin melakukan ibadah tertentu di waktu tertentu yang tidak pernah ada penentuan (waktu atau macam)nya dari syari’ah seperti (mengkhususkan) puasa di pertengahan bulan Sya’ban dan beribadah di malamnya. (Al ‘Itisham 1/39)

Syaikh Mahmud Syaltut, mengatakan : Adapun khusus malam Nishfu Sya’ban dan kumpul-kumpul untuk menghidupkannya dan mengadakan shalat khusus di malam itu serta berdo’a dengan do’a (khusus), semuanya tidak bersumber sedikitpun dari . Dan tak pernah dikatakan (dan dikenal) oleh seorangpun di masa-masa awalNabi (Islam) (Al Fatawa 191)

adalah banyak berpuasa di bulan Sya’ban itu untukYang ada dari Rasulullah mempersiapkan diri menghadapi Ramadhan tanpa membedakan hari-hari tertentu. (Disusun oleh Ustadz Abu Sulaiman, Imam Masjid di sebuah Yayasan di Jakarta tahun 1420H).

Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah dijelaskan:

وَبَيَّنَ الْغَزَالِيُّ فِي الْإِحْيَاءِ كَيْفِيَّةً خَاصَّةً لِإِحْيَائِهَا , وَقَدْ أَنْكَرَ الشَّافِعِيَّةُ تِلْكَ الْكَيْفِيَّةَ وَاعْتَبَرُوهَا بِدْعَةً قَبِيحَةً , وَقَالَ الثَّوْرِيُّ هَذِهِ الصَّلَاةُ بِدْعَةٌ مَوْضُوعَةٌ قَبِيحَةٌ مُنْكَرَةٌ .

Al-Ghazali menjelaskan dalam Kitab Al-Ihya’ (Ihya’ ‘Ulumid Dien) cara khusus untuk menghidupkan (nishfu Sya’ban). Tetapi sungguh As-Syafi’iyah (para pengikut madzhab Imam As-Syafi’i) mengingkari tatacara itu, dan mereka menyatakannya sebagai bid’ah qobihah (yang buruk). Dan Ats-Tsauri berkata, sholat (nishfu Sya’ban) ini adalah bid’ah maudhu’ah qobihah munkaroh (bid’ah bikinan yang buruk lagi munkar). (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, Wazarotul Auqof Was-syu’unil Islamiyyah Kuwait, 34 juz, juz 2, halaman 235-236, dikutip Hartono Ahmad Jaiz dalam buku Islam dan Al-Qur’an Pun Diserang, Pustaka Nahi Munkar, Jakarta- Surabaya, 1430H/ 2009).

Jama’ah Jum’ah rahimakumullah. Demikianlah pentingnya Ummat Islam ini mengetahui duduk soal apa-apa yang dikerjakan atas nama ibadah. Para ulama sudah menunjuki hal-hal yang perlu dihindarkan walau dilakukan banyak orang. Petunjuknya itu dilandasi pula dengan merujuk kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila para ulama yang shalih telah menunjuki sesuai yang disampaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedang kita lebih memilih untuk mengikuti banyak orang, itu dari berbagai segi dan dalil-dalil di atas ternyata sikap kita ini keliru. Setelah ternyata keliru, lantas bagaimana?

Perlu kita sadari bahwa Ummat Islam ini tetap diberi jalan baik apabila mengakui kekeliruannya, meninggalkannya, dan bertaubat. Dalam hadits dijelaskan,



عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : { كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ } أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ ، وَسَنَدُهُ قَوِيٌّ

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Setiap bani Adam (manusia) itu banyak salah, dan sebaik-baik orang yang banyak salah adalah orang-orang yang banyak bertaubat. (HR At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, sanadnya kuat menurut Kitab Subulus Salam).

Semoga kita termasuk orang-orang yang mau mengakui ketika bersalah atau keliru, dan termasuk hamba-hamba Allah yang banyak bertaubat atas kesalahan-kesalahan. Dan semoga dijauhkan dari sikap yang sombong, yakni tidak mau menerima kebenaran dan meremehkan manusia. Amien ya Rabbal ‘alamien.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرّحِيْمِ .



Thursday, July 14, 2011

PERUSAHAAN NON MUSLIM DAN SISTEM DAJJAL


USTD, saya telah lulus kuliah dan baru menikah sekarang saya telah mengajar privat dan baru dipecat jadi pengajar dengan alasan yang tidak jelas. ketika saya dakwah keluar hati saya tenang karena untuk maisyah telah mengajar di lembaga tersebut. tetapi ketika selesai dakwah saya di pecat jadi pengajar dilembaga dakwah tersebut. ketika saya tidak mengajar lagi saya ditawari kerja diperusahaan non muslim saya bimbang ustad karena saya sudah bertekad tidak akan bekerja diperusahaan non muslim takut terwarnai oleh lingkungan.

Yang jadi pertanyaan, apakah saya harus bekerja diperusahaan tersebut atau tetap mengajar privat yang saya jalankan sekarang dan saya punya cita cita ingin punya bimbingan belajar yang islami

heri

Jawaban

Subhanallah begitu mulia niat saudara Heri, menahan diri untuk tidak bekerja di perusahaan non muslim semata-mata menjaga diri untuk tidak tewarnai millah kaum kufar. Itulah yang memang harus ditanamkan dalam hati oleh kaum muslim sebagai perwujudan dari ketauhidannya yang mendahulukan kesucian agamanya daripada apapun, jika hal itu akan berbuah kemudharatan.

Semoga niat yang saudara tancapkan diberi kemudahan dan kekuatan oleh Allah SWT. Karena kita ketahui bersama di zaman penuh fitnah sekarang ini, tidak jarang seorang muslim berubah akhlak dan pandangannya terhadap Islam justru karena situasi kerja.

Banyak kita lihat fenomena seorang mukmin yang tadinya sangat lurus dan hanif tapi ketika hidup di sebuah sistem yang non Islami, perangai mereka pun turut berubah. Ia terwarnai oleh lingkungan kerja yang tidak mendukung bagi perkembangan agamanya.

Seorang muslimah yang tadinya berkomitmen tidak ingin bersentuhan dengan pria non muhrim, kini menjadi tak mengapa. Ia merasa asing untuk tidak bersalaman melihat rekan kerja yang lain pun ikut bersalaman. Katanya lagi, “maaf, takut nanti dibilang kok saklek banget sih”.

Inilah fitnah yang mendera seorang mukmin, saudaraku. Dan Rasulullah SAW sudah menjelaskan dengan baik perkara dahsyatnya fitnah “lingkungan” tersebut dalam sebuah hadisnya,

“Fitnah yang menyebar atas hati manusia bagaikan pengepungan beruntun. Setiap hati yang menyerapnya, maka akan timbul padanya noda hitam dan hati yang mengingkarinya akan tumbuh padanya titik putih. Dari sini mulai tampak dua jenis hati; yang putih jernih, tidak akan sedikit pun tertimpa bahaya fitnah selamanya, dan yang hitam pekat bagaikan gelapnya malam, tidak mengenal kebaikan dan tidak mengingkari kemungkaran, ia hanya mengikuti hawa nafusnya.” (HR. Muslim)

Maka itu pastikan, lingkungan kerja kita betul-betul steril dari inflitrasi yang bisa menipiskan iman. Apalah arti kesuksesan dunia, tapi nilai keIslaman dalam diri kita terkikis serangkaian coba yang tidak mampu kita lewati.

Saudaraku, Syekh Ahmad Thompson, seorang Ulama dari Inggris dalam bukunya Dajjal and The Antichrist yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Sistem Dajjal, secara cermat mengkritisi sistem perusahaan, pabrik, kerja, dan tata manajemen perusahaan di era sistem dajjal seperti sekarang ini. Ia mengatakan,

“Sistem itu memperlakukan manusia sebagai bagian yang diperlukan sekaligus bisa dibuang begitu saja dalam proses produsen-konsumen. Peningkatan otomatisasi berarti peningkatan penghambaan manusia kepada mesin yang dijalankannya. Mereka diwajibkan untuk mengikuti lajunya mesin. Pada pabrik yang bekerja dua puluh empat jam sehari, pekerja diatur sedemikian rupa agar mesin tidak sampai berhenti. Kelahiran, pernikahan, dan kematian cenderung dianggap sebagai perIstiwa kehidupan yang tidak penting.”

Syekh Ahmad Thompson kemudian melanjutkan bagaimana perusahaan berkembang menjadikan Kapitalisme sebagai Tuhan-tuhan baru mereka, dan para pekerja ditempatkan sebagai pengabdi materialisme.

“Sukses di ukur dari seberapa besar kekuasaan anda atas orang lain, dari sekecil apa kekuasaan orang lain atas diri anda, juga dikukur dari seberapa besar uang yang anda peroleh. Semakin banyak barang yang mampu anda beli, maka semakin berhasillah anda. Semakin anda bisa mengejawantahkan citra ideal semu yang ditampilkan media massa – dan ada banyak sekali citra ideal yang ditawarkan guna menciptkan pasar yang seluas-seluasnya – maka semakin terkenallah anda sebagai seorang yang sukses dalam permainan produsen-konsumen”

Sungguh saya tidak dalam kapasitas memberikan fatwa dan arahan tertentu, namun saya sendiri khawatir, jika saja analisa Syekh Ahmad Thompson menjelaskan fenomena itu berlaku umum pada perusahaan modern saat ini, bagaimana dengan perusahaan yang jelas-jelas dipegang oleh non muslim dan menjalankan tata kelola perusahaan yang jauh dari Islami.

Maka untuk menutupi ketakutan para perkerjanya, perusahaan dalam basis sistem Dajjal akan memback-up pekerjanya dengan segala fasilitas agar mereka tetap bertahan disana, atau minimal terus loyal kepada kapitalisme dan materialisme. Syekh Ahmad Thompson menulis

“Sekecil apapun rasa aman pada pekerjaan, akan diluluhkan oleh pemberlakukan tawaran kontrak kerja jangka pendek dan ancaman PHK, dan ketakutan ini dijadikan sarana untuk menumbuhkan semangat kerja.”

Sekarang semuanya ada ditangan saudara, bermunajatlah kepada Allahuta’ala. Rezeki itu ada ditangan Allah. Tiap manusia pun memiliki rezekinya masing-masing. Ubur-ubur saja yang hidup di dasar laut masih diberikan rezeki oleh Allah, bagaimana dengan manusia yang memang ia ciptakan sebagai makhluk sempurna?

Saudaraku, kita tidak disuruh untuk mencari rezeki, tapi kita disuruh Allah untuk menjemput rezeki. Mencari belum tentu ada, tapi kalau menjemput sudah pasti ada, tinggal bagaimana ikhtiar kita. Terlebih saudara baru saja melepas masa lajang. Maka yakinlah atas janji Allah.

“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin allah akan mengkayakan mereka dengan karunianya. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya) dan Maha Mengetahui.” (An Nuur ayat 32). Wallahua'lam. (Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi)